Sabtu, 27 Desember 2014

Cahayaku



(Judul, translate ke bahasa Arab)

Well, di kehidupanku yang masih muda ini. Entah kenapa begitu banyak penyesalan yang memang tak seharusnya terjadi. Seperti memang telah ditakdirkan untukku. Sakit, walau hanya sedikit mengingatnya. Namun jika aku dipaksa untuk mengingat, maka aku membuka memori saat aku tak mengenal siapa aku. Memang hanya satu dua kali, namun perasaan ini, rasa bersalah ini rasanya terlalu besar. Mungkin memang karena perasaan bukanlah sesuatu yang dapat ditentukan satuannya, dapat ditentukan nilai riilnya. Hanya saja, terlalu sakit walau hanya untuk satu tarikan nafas.
Aku menutup mataku, dan kembali membuka mata dalam kesadaran tubuhku yang dulu. Entah apa yang kupikirkan waktu itu. Well, kuakui aku tersenyum saat itu. Tanpa ada rasa khawatir satu dua beban. Hari raya, saat itu. Bukankah seharusnya ada lembaran baru yang terbuka, suci, putih. Disaat itulah aku mengenal senyumnya. Tak seperti yang lain, saat orang-orang biasa memakai warna putih. Dan kau tahu rasanya bangga sekali waktu itu. Mengetuk pintu rumahnya, setelah beberapa digit huruf mengkonfirmasi. “Ya, aku tunggu dirumah”. Seperti baru tadi, seperti baru berapa detik tadi. Aku bergegas meraih kunci motorku, menyalakan mesinnya, memasukkan gigi pertama, dan memutar sang gasnya. Seperti baru beberapa detik lalu, saat aku menerobos angin kencang, dengan motor itu, tanpa beban, bahkan rasanya ringan saja. Seperti masih bisa aku mendengar ketukan pintu, derit engsel pintu terbuka, dan senyumnya. Yaa Rabb.
            Betapa siksa hati begitu dahsyat, saat setiap hurufnya diwakili oleh tiap kata tersebut.

Jumat, 19 Desember 2014

Far - Masa Depan



...
Sore memang indah, Jingga merah menyiram angkasa. Hujan sedang libur, biasanya sore setelah Ashar gerimis sudah mulai turun, namun hari ini cuaca cerah seharian. Saking cerahnya, cahaya itu masuk menembus kulit, menyusuri lorong-lorong hati. Sampai ke bagian paling gelap, membuatnya terang. Sebenarnya bukan tanpa alasan. Akan bagaimana rasa hati, kalau sebuah keinginan terpenuhi. Bagaimana sih rasa hati, kala rindu semi merekah. Teringat masa-masa indah, dahulu.
Bertemu seorang sahabat karib memang menyenangkan, membahas masa lalu, menyemangati keadaan hari ini, berdoa untuk masa depan. Waktu memanglah sempit, melesat bagai butir air yang terus jatuh hancur ditampar peluru yang melesat. Sebenarnya bukan masalah, apalagi yang telah lalu. Dia datang, sumringah sekali wajahnya, menyempal kesenangan di setiap sudut wajahnya. Kami berpelukan, mengikat lebih erat sebuah tali yang sudah rumit, meski selalu menjadi sederhana ketika pertemuan ini. Pertemuan ini bukanlah yang pertama kali, namun ada sebuah hal spesial dari hari ini yang membuatnya pantas memberikan kenangan-kenangan pertama.
                “Oh, kamu tidak sendiri Far?” Langsung saja.
                Pintu mobil terbuka, seseorang turun dengan anggun. Terlihat hijab-nya menutupi sampai ujung kakinya. Lima detik kemudian, Far sudah menggandeng istrinya. Bercadar hitam, dengan pandangan yang selalu menunduk―suci terjaga.
                “Silahkan masuk teman lama, anggap saja rumah sendiri. Maaf, memang kurang rapi. Kamu tahu sendirilah, kehidupan orang-orang yang sendiri”.
Entah perasaan apa ini, tapi jelas aku bahagia melihat teman lamaku ini ternyata sudah memiliki sebuah sumber kebahagiaan baru. Meski dalam lubuk hati ini, iri juga melihatnya. Aku yang lebih tua dua tahun dengannya malah sibuk―menyibukkan diri dengan pekerjaan, menenggelamkan diri, membutakan dari hiruk-pikuk sosial.
“Tidak usah repot-repot Mas.” Jawab Far ketika aku menawarinya membuat minuman. Hampir bersamaan, gerbang depan berderit terbuka. Ibu kontrakan rumahku melangkah mendekati pintu yang masih terbuka. Maka demi melihat Far yang sudah dewasa, bersama istri cantiknya, Ibu Yuyun langsung mengambil alih ruangan. Bagaimana tidak, demi melihat Far―mantan anak asuhnya dulu saat kami masih tinggal di atap yang sama. Maka dimulailah percakapan hangat tentang Far dan istrinya.

...

_ImperfectHarmonies

Sabtu, 15 November 2014

Studi F

Yang ternyata kehidupan ini adalah sebuah masalah. Pembelajaran-pembelajaran dari keraguan-keraguan mendasar, dan cara berpikir mendasar, mencoba mencari solusi paling mendasar. Tanpa percobaan atau praktek. Namun, dari mana datangnya solusi, jika yang ada hanya masalah? Logika. Ketika fenomena masalah sudah menjadi tuntutan agar pemecahan dapat dijadikan solusi. Pemikiran, karena jika solusi datang dari argumentasi “menurut” dan alasan-alasan yang “saya” berikan. Bukankah akan sangat mudah jika kita juga mengutarakan menurut “kita” dan cara-cara yang “mereka” ajukan? Kalau saja semua pemecahan hanyalah otak-atik kata, yang tentu dihasilkan dari studi pemikiran. Apakah ada yang disebut dengan pencipta solusi? Pemikir? Walau sebenarnya juga akan merasa salah, jika menggunakan kata-kata “mencipta”. Menjurus langsung kepada Tuhan. Eksistensi, bukankah kita sudah terlalu bebas berpikir? Jika kita memang dibebaskan untuk berpikir, menggunakan dengan maksimal yang kita sebut dengan “akal”. Apakah tujuan sebenarnya dari kebebasan akal ini? Kalau memang arti dari sebuah solusi adalah rasa. Mengapa harus dengan cara yang ternyata menjurus kepada ketidakmampuannya kita untuk berperasaan? Saat akal yang bekerja, yang ternyata hanya menciptakan sebuah kata yang pas untuk hidup kita, bukan lagi mencari solusi, namun kepuasan rasa. Itukah alasan sebenaranya? Semua yang biasa disebut pemikiran secara mendasar, adalah bagaimana kita mampu membuat sebuah rasa? Pikir, pikir. Jika kebebasan ini tak ada lagi, kata random, disorder, erratic, atau kata-kata tak beraturanpun akan musnah.
Dan aku sebagai manusia, sebagai seorang yang berjalan penuh dengan keinginan untuk mengetahui apa yang kembali berjalan di sekelilingku. Aku sebagai pertanyaan kenapa dan bagaimana. Aku sebagai seorang yang puas berkata “oooh". Aku yang bebas berkata bahwa inilah yang tebak, dan menyalahkan yang lain. Aku yang menjadi tuhan bagi diriku sendiri. Inikah yang disebut dengan mendasar? Maka tujuh miliar tuhan di bumi ini benar-benar akan mengalami kehancuran. Mungkin hanya tujuh puluh ribu hamba yang memahami bahwa tuhan bukanlah tentang eksistensi, namun peran yang mewakili “eksistensi”. Teriaki aku ketika salah, berikan ujian ketika aku telah siap untuk naik, beri aku masalah saat aku belum mengerti, beri aku solusi sehingga aku tetap pada jalan-Mu.
Jadi, apakah itu Pemikiran Mendasar? Apakah sama seperti petunjuk penggunaan yang telah diterbitkan oleh “Pencipta” kita sebelumnya?


Selasa, 15 Juli 2014

Menghela Nafas Panjang-Panjang



Di sudut-sudut sebuah kota, terbiasalah dengan suara pukulan-pukulan palu, desingan bor, Mesin-mesin kontraktor besar. Gelegar bom menjatuhkan dinding-dinding gedung tua, menghancurkan gedung-gedung tinggi, dan membangunnya kembali. Aku adalah sampah bagi mereka, entah sebgain atau seluruhnya. Kami adalah korban, janji pertama yang dibubuhkan dalam undang-undang dasar, sudah terlalu jauh untuk ditepati. Aku juga punya sebutan lain, steel―Si Baja. Walau terkadang berubah menjadi still (tenang), atau steal (mencuri) hanya karena aksen.  Setiap hariku dipenuhi tatapan mata-mata itu, pikiran mereka jelas tertulis di raut wajah mereka. Takut, jijik, benci, setiap tatapan itu mempunyai artinya. Namun, sebutanku itu bukan tanpa alasan, aku tak pernah sekalipun mengeluarkan emosi, wajahku biasa pandanganku datar, untuk apa? Tak akan ada yang mengerti, tak akan ada yang peduli. Hidupku berjalan terus dalam bayangan, dalam gelap-gelap malam. Saat mereka sendirian, jadilah mereka makanan malam kami.

Minggu, 06 Juli 2014

Lagu-lagu malam itu.

Kubilang, kau tak berhak tanyakan hidupku, membuatku semakin terluka..
Mudah saa ban=gimu mudah saja untukmu, coba saja, lukamu seperti lukaku. Kau tak berhak tanyakan keadaanku, Kau tak berhak tanyakan keadaanku, mudah saaa bagimu! Mudah saja untukmu, candai saja cintamu seperti cintaku. uuuu..... Uuuuu, Uuuu...... Aaaaaaaaaaaaaaa UUu, mudah saa ooooooouaah.
Huuuu, huuhuuuuaaaa.....

Selasa, 24 Juni 2014

Hola!


Halo reader! Entah kapan terakhir kali aku memanggil kalian. Rasanya memang tidak pernah, penulis mungkin terlalu egois, sombong, tengelam dalam tulisannya sendiri. Monoton, tenggelam dalam perasaannya sendiri. Dan, well. Dibalik semua itu, terimakasih untuk semua yang pernah mengunjungi blog ini, entah siapapun anda, entah apa yang anda piirkan.

Faris



...
Kembali, aku dihadapkan pada suatu hal. Mereka memakasaku untuk memuntahkan semuanya, menulis apa adanya. Keadaan-keadaan yang seharusnya tak pernah kurencanakan, pertanyaan-pertanyaan itu, kata-kata itu, senyum itu. Bahkan senyum itu tak pantas kudapatkan. Kereta melaju cepat, satu setengah jam lagi menuju surabaya. Aku memang tak yakin, keraguanku berada di puncaknya. Tapi, semua harus terjadi, janji adalah janji. Aku tak akan mundur, aku hanya punya satu hari.

Kamis, 19 Juni 2014

Takdir kah?



 
















...
Lebih dari 7 juta Jiwa, berlalu lalang Di Sumatera Selatan, tersebar di 8,7 juta kilometer persegi, dan salah satunya, Aku. 561.458 orang, tergabung Dalam Musi Banyuasin, dan Aku salah satunya. 288.450 orang teridentifikasi sebagai laki-laki di kabupaten ini. Salah satunya, Aku. 54.630 pasang mata, berhamburan dalam kota ini, Sungai Lilin, dan salah satunya, Aku. Bergabung, melebur dengan 1.7 juta pasang kaki yang melangkah tak perduli, menekan bumi Palmebang, bersama hiruk pikuk suasana kota. Ramai dengan masalah dalam sudut-sudut kehidupannya. Tepatnya, 7.450.340 Jiwa, berlalu lalang Di Sumatera Selatan, dan salah satunya, Dia. 561.458 orang, tergabung Dalam Musi Banyuasin, dan Dia salah satunya. Lebih dari 118 juta Perempuan Di Indonesia, dan terus bergerak naik sejak sensus penduduk tahun 2010 silam. Terus merangkak naik, terbalut dalam lebih dari 230 juta manusia Di Indonesia. Bayangkan angka-angka itu. Aku adalah satu titik yang diam, terdiam mungkin lebih tepat atau seperti orang-orang biasa bilang, mati kutu. Lupakan angka-angka membungungkan tadi. Lupakan luas wilayah Sumatera Selatan, atau Palembang. Mari bermain dengan angka satu sampai sepuluh. Mari kita mulai.

Detik pertama, Langkahku terhenti, aku sudah masuk dalam mode berpikir, yang tak bisa dihitung oleh waktu. Entah berapa kecepatan syaraf-syaraf dari mata ke otak, entah berapa kecepatan otakku ini memproses sebuah gambar yang baru saja ditangkap mata, entah seberapa cepat syaraf-syaraf tubuh ini mengirim sinyal dari otak ke otot-otot kaki. Membuatnya berhenti tertahan kurang dari satu detik, satu seper sekian detik. Satu detik, telah lewat, aku mencoba berpikir spontan, melawan definisi mati kutu. Namun, apa yang harus kulakukan di saat-saat seperti ini? Masa lalu adalah masa lalu, permintaan terkhirnya adalah melupakan masa lalu. Kenapa semua kembali lagi, dalam satu detik itu. Aku mencoba tenang, kembali mengambil langkah maju, satu langkah. Bumi kembali diam. Tiga langkah lagi, setengah senti meter wajah itu bergeser. Dua langkah lagi, matanya masih tertutup, seperti slow motion, kelopak matanya perlahan membuka. Tiga detik telah lewat, Aku satu langkah di depanya. Kilat menyambar, mungkin untuk yang terakhir kalinya, tetesan hujan tak lagi turun, matahari muncul dibalik awan-awan mendung. Berusaha menyinari bumi, mengembalikannya pada cahaya. Satu langkah, tak benar-benar berhadapan memang, dia berdiri bersama payung merahnya. Kerudung coklatnya terlihat basah terkena terpaan angin yang membawa rintik hujan. Jangan tanya aku, aku basah kuyup.

Satu detik terakhir, mulut terkunci, muka tegang―dengan sedikit pemaksaan agar tetap normal. Pandangan mata secepat kilat, lebih tepatnya 3×10­8 Km/s. Aku melangkah maju, maaf. 7,2 miliar manusia. Entah mereka tersebar dimana. Entah apa yang mereka lakukan, entah apakah mereka pernah melakukan adegan aneh seperti ini, entah apakah mereka pernah membayangkan bagamana anehnya, entah sudah berapa canggung yang dibebankan spesial untukku hari ini, yang seharsunya dibagi menjadi beberapa canggung lagi dan dibagikan ke lima atau sepuluh orang lagi. Satu detik berlalu lagi, semua berakhir, entahlah, atau semua ini adalah puncak dari semuanya. Kaki kananku sempurna menapak semen trotoar jalan. Tepat disampingnya, bertolak arah. Aku tetap melihat ke depan, aku akan selalu melihat kedepan. Mengambil langkah kuat, mendorong tanah dengan kaki ini. Satu langkah, tanpa kata, tanpa senyum, tanpa jawaban, tanpa alasan, tanpa pengertian. Tanpa sadar, aku berbisik “Takdir kah?”
Tiga langkah sudah aku melewatinya, aku bergegas. Awan mendung ternyata lebih kuat, menekan sinar mentari siang ini, membuatnya tak pantas lagi disebut siang. Hilanglah semangatku. Aku pulang.
7,2 miliar manusia di bumi ini. Aku adalah sebuah titik yang menjauh dari pusat pertemuan, menikmati kesendirian. 7,2 miliar manusia, dan aku sendiriran.
...

Sumber Gambar:
http://statis.dakwatuna.com/wp-content/uploads/2013/11/kartun-muslimah-payung-hujan.jpg
Edited with AdobePhotoshop
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgueUI2z3hssNrs2Sqp5tCeAdw0uHPN8YhOufvXvNRE0F_hB8dApAzfEomNvWlGrKWF02-n4Q1lGjVbbejAJ77dyAnTue9FuiDY6p02JYc-2YeIu1u29XcG1vm48Id9GmgeAhMTT7dk2xVR/s1600/hati3.jpg
Imperfect Harmonies_


...
Oh ya, Aku sempatkan mampir di ATM, memasukkan kartu dan pin, mengecek saldo, dan kembali menangis, dalam hati.

Minggu, 08 Juni 2014

Dua Kali, Lagi.



                “Kukira semua sudah berakhir, Kankila?” langsung, aku akan langsung ke poin utama. Matahari sudah tak lagi tertarik dengan permasalahanku. Semuanya harus berkahir hari ini.
                “Bukankah semua sudah jelas? Kau sudah membaca buku itu bukan?” Aku maju beberapa langkah, menjauh beberapa langkah didepannya. Aku tak akan membalikkan punggungku, semuanya sudah berakhir.
“Kenapa kau diam?” Aku tak tahan lagi, ini bukan aku yang biasanya, ini orang lain. Dan kau, kau juga bukan dirimu yang biasanya.
                Matahari akhirnya hilang, meninggalkan bayang-bayang gedung pencakar di seluruh kota, sunyi. Untuk sebuah kota wisata, kota ini memang sangat sepi―selain karena hari ini memang hari raya nyepi, namun turis-turis yang biasa berlalu lalang―yang tak peduli waktu―juga tak terlihat.  Pantaslah disebut hari raya nyepi, karena seluruh kegiatan kota―bahkan pulau, ditutup. Bandara, restoran, kafetaria, hotel. Entahlah bagaimana nasib orang sakit, jika rumah sakit juga tutup, tapi hati mana yang tega melihat orang merintih. Sayangnya tak ada yang bisa melihat sakit yang diderita hati, sekencang apapun jeritannya, tak ada yang mendengar.
                “K-kau...” Kata-katanya terpotong, dua detik, tiga detik, lima detik, sembilan detik, tujuh belas detik, kata-kata itu tak akan pernah keluar.
                “Bukankah semua sudah jelas? Apalagi yang kau inginkan?”
                “A-aku...” Detik-detik itu kembali, aku benci ini. Canggung, aku tak tahan lagi―sebenarnya. Aku mencoba terus melihat kedepan, menahan raga untuk segera membalik badan. Aku tak akan bisa lagi melihatnya meneteskan air mata, walau hanya setetes, walau air mata itu hanya bersarang di pelupuk mata, menjadi kaca bening lembutnya hati yang sakit. Biarlah, terkahir kali aku menunggu, bahkan ketika aku memang sedang menunggu, saat senyumku sudah merekah, menghangatkan suasana, membuat cantik biji-biji pohon mahoni yang berputar mengarah angin. Memberikan harapan-harapan, menjadi bukti kesempatan, menjadi harapan kelanjutan indahnya pohon itu. Namun sebentar saja―cukup dua detik, saat aku membalikkan badan. Yang kulihat hanya ransel pink miliknya, sambil berjalan menjauh. Mengembangkan payung merah, dengan aksen kuning di ujung-ujung payung. Membawa harapan-harapan itu. Pergi menjauh. Semua sudah cukup menyenangkan.
                “Kau sudah membaca buku itu bukan?” Aku memastikan sekali lagi. “Seharusnya kau mengerti.” Aku tak mau menunggu, aku akan mendominasi percakapan ini. Semua harus berakhir sore ini. “Kau tak akan meminta penjelasan itu lagi, kan?” Berusaha menahan intonasi, menjaga air mata itu.
                Sunyi, sore tetap sunyi. Kankila membisu, sepertinya ia sedang berpikir. Tak terdengar suara sama sekali, dunia terlalu sepi. Aku tak menyukainya.
                “Kau...” Lagi-lagi terpotong, apa yang kau pikirkan Kila? Sebenarnya, apa yang kau inginkan? Semua sudah selesai, semua sudah kuungkapkan dalam buku itu. Semua harus selesai detik ini.
                “Aku tak tau, kata apa yang harus aku pakai”
                “Hah?” Dia bicara, sekarang dia benar-benar bicara.
                “Aku memang bukan seorang penulis hebat sepertimu, aku bukanlah seseorang yang terlahir dengan kehidupan sesempurna kehidupanmu, walau aku tau, orang tuamu meninggal tragis dalam kecelakaan, aku tau masa lalumu yang bermata dingin, tak pernah menyentuh seorangpun. Terus menerus membawa buku kecil, menulis, menulis. Aku bukan orang sepertimu, yang hidup tanpa memiliki kekhawatiran untuk tetap hidup. Bertahan!”
                Aku menelan ludah, mencoba untuk tetap terkendali. Kankila juga terdengar ternang, tak ada getaran dalam intonasi suaranya. “Aku tau, kau pernah membunuh seseorang, walau membunuh bukan dalam pengartian secara harfiah. Aku tau, aku sudah membaca buku itu, Alif!”
                Dia menyebut namaku? Aku hapmpir saja menoleh, suaranya mulai bergetar. “Tapi, tapi...” Sekarang, ia benar-benar menangis. Tuhan, kena kutuk apa hambamu ini. Kembali menyaksikan tangisannya. Satu detik, ternyata hanya satu detik. Semua berubah. Satu detik, entah bagaimana otak ini bekerja. Aku bersiap membalikkan badan. Satu detik. Ransel pink itu tepat menghadap wajahku, lagi. Bedanya, hanya payung merah itu, yang tergeletak asal dalam kamarku. Barang yang tak pernah bisa aku kembalikan. Satu detik, dua detik, tiga detik. Smartphone-ku bergetar di saku jaketku. 0317? Empat digit terakhir, nomor itu. Aku menelan ludah, melempar jauh smartphone itu. Mengeluarkan notebook lengkap dengan pensil mekanik. 22 Maret 2018, aku tak akan pernah punya kesempatan.
               
...

_Imperfect Harmonies