…
“Kukira semua sudah berakhir, Kankila?” langsung, aku akan langsung ke poin utama.
Matahari sudah tak lagi tertarik dengan permasalahanku. Semuanya harus berkahir
hari ini.
“Bukankah
semua sudah jelas? Kau sudah membaca buku itu bukan?” Aku maju beberapa
langkah, menjauh beberapa langkah didepannya. Aku tak akan membalikkan
punggungku, semuanya sudah berakhir.
“Kenapa kau diam?”
Aku tak tahan lagi, ini bukan aku yang biasanya, ini orang lain. Dan kau, kau
juga bukan dirimu yang biasanya.
Matahari
akhirnya hilang, meninggalkan bayang-bayang gedung pencakar di seluruh kota,
sunyi. Untuk sebuah kota wisata, kota ini memang sangat sepi―selain karena hari
ini memang hari raya nyepi, namun turis-turis yang biasa berlalu lalang―yang tak
peduli waktu―juga tak terlihat. Pantaslah disebut hari raya nyepi, karena
seluruh kegiatan kota―bahkan pulau, ditutup. Bandara, restoran, kafetaria,
hotel. Entahlah bagaimana nasib orang sakit, jika rumah sakit juga tutup, tapi
hati mana yang tega melihat orang merintih. Sayangnya tak ada yang bisa melihat
sakit yang diderita hati, sekencang apapun jeritannya, tak ada yang mendengar.
“K-kau...”
Kata-katanya terpotong, dua detik, tiga detik, lima detik, sembilan detik,
tujuh belas detik, kata-kata itu tak akan pernah keluar.
“Bukankah
semua sudah jelas? Apalagi yang kau inginkan?”
“A-aku...”
Detik-detik itu kembali, aku benci ini. Canggung, aku tak tahan lagi―sebenarnya.
Aku mencoba terus melihat kedepan, menahan raga untuk segera membalik badan.
Aku tak akan bisa lagi melihatnya meneteskan air mata, walau hanya setetes,
walau air mata itu hanya bersarang di pelupuk mata, menjadi kaca bening
lembutnya hati yang sakit. Biarlah, terkahir kali aku menunggu, bahkan ketika
aku memang sedang menunggu, saat senyumku sudah merekah, menghangatkan suasana,
membuat cantik biji-biji pohon mahoni yang berputar mengarah angin. Memberikan
harapan-harapan, menjadi bukti kesempatan, menjadi harapan kelanjutan indahnya
pohon itu. Namun sebentar saja―cukup dua detik, saat aku membalikkan badan.
Yang kulihat hanya ransel pink miliknya, sambil berjalan menjauh. Mengembangkan
payung merah, dengan aksen kuning di ujung-ujung payung. Membawa
harapan-harapan itu. Pergi menjauh. Semua sudah cukup menyenangkan.
“Kau
sudah membaca buku itu bukan?” Aku memastikan sekali lagi. “Seharusnya kau
mengerti.” Aku tak mau menunggu, aku akan mendominasi percakapan ini. Semua
harus berakhir sore ini. “Kau tak akan meminta penjelasan itu lagi, kan?”
Berusaha menahan intonasi, menjaga air mata itu.
Sunyi,
sore tetap sunyi. Kankila membisu, sepertinya ia sedang berpikir. Tak terdengar
suara sama sekali, dunia terlalu sepi. Aku tak menyukainya.
“Kau...”
Lagi-lagi terpotong, apa yang kau pikirkan Kila? Sebenarnya, apa yang kau
inginkan? Semua sudah selesai, semua sudah kuungkapkan dalam buku itu. Semua
harus selesai detik ini.
“Aku
tak tau, kata apa yang harus aku pakai”
“Hah?”
Dia bicara, sekarang dia benar-benar bicara.
“Aku
memang bukan seorang penulis hebat sepertimu, aku bukanlah seseorang yang terlahir
dengan kehidupan sesempurna kehidupanmu, walau aku tau, orang tuamu meninggal
tragis dalam kecelakaan, aku tau masa lalumu yang bermata dingin, tak pernah
menyentuh seorangpun. Terus menerus membawa buku kecil, menulis, menulis. Aku
bukan orang sepertimu, yang hidup tanpa memiliki kekhawatiran untuk tetap
hidup. Bertahan!”
Aku
menelan ludah, mencoba untuk tetap terkendali. Kankila juga terdengar ternang,
tak ada getaran dalam intonasi suaranya. “Aku tau, kau pernah membunuh
seseorang, walau membunuh bukan dalam pengartian secara harfiah. Aku tau, aku
sudah membaca buku itu, Alif!”
Dia
menyebut namaku? Aku hapmpir saja menoleh, suaranya mulai bergetar. “Tapi,
tapi...” Sekarang, ia benar-benar menangis. Tuhan, kena kutuk apa hambamu ini.
Kembali menyaksikan tangisannya. Satu detik, ternyata hanya satu detik. Semua
berubah. Satu detik, entah bagaimana otak ini bekerja. Aku bersiap membalikkan
badan. Satu detik. Ransel pink itu tepat menghadap wajahku, lagi.
Bedanya, hanya payung merah itu, yang tergeletak asal dalam kamarku. Barang
yang tak pernah bisa aku kembalikan. Satu detik, dua detik, tiga detik. Smartphone-ku
bergetar di saku jaketku. 0317? Empat digit terakhir, nomor itu.
Aku menelan ludah, melempar jauh smartphone itu. Mengeluarkan notebook
lengkap dengan pensil mekanik. 22 Maret 2018, aku tak akan pernah punya
kesempatan.
...
_Imperfect Harmonies