Selasa, 24 Juni 2014

Hola!


Halo reader! Entah kapan terakhir kali aku memanggil kalian. Rasanya memang tidak pernah, penulis mungkin terlalu egois, sombong, tengelam dalam tulisannya sendiri. Monoton, tenggelam dalam perasaannya sendiri. Dan, well. Dibalik semua itu, terimakasih untuk semua yang pernah mengunjungi blog ini, entah siapapun anda, entah apa yang anda piirkan.

Faris



...
Kembali, aku dihadapkan pada suatu hal. Mereka memakasaku untuk memuntahkan semuanya, menulis apa adanya. Keadaan-keadaan yang seharusnya tak pernah kurencanakan, pertanyaan-pertanyaan itu, kata-kata itu, senyum itu. Bahkan senyum itu tak pantas kudapatkan. Kereta melaju cepat, satu setengah jam lagi menuju surabaya. Aku memang tak yakin, keraguanku berada di puncaknya. Tapi, semua harus terjadi, janji adalah janji. Aku tak akan mundur, aku hanya punya satu hari.

Kamis, 19 Juni 2014

Takdir kah?



 
















...
Lebih dari 7 juta Jiwa, berlalu lalang Di Sumatera Selatan, tersebar di 8,7 juta kilometer persegi, dan salah satunya, Aku. 561.458 orang, tergabung Dalam Musi Banyuasin, dan Aku salah satunya. 288.450 orang teridentifikasi sebagai laki-laki di kabupaten ini. Salah satunya, Aku. 54.630 pasang mata, berhamburan dalam kota ini, Sungai Lilin, dan salah satunya, Aku. Bergabung, melebur dengan 1.7 juta pasang kaki yang melangkah tak perduli, menekan bumi Palmebang, bersama hiruk pikuk suasana kota. Ramai dengan masalah dalam sudut-sudut kehidupannya. Tepatnya, 7.450.340 Jiwa, berlalu lalang Di Sumatera Selatan, dan salah satunya, Dia. 561.458 orang, tergabung Dalam Musi Banyuasin, dan Dia salah satunya. Lebih dari 118 juta Perempuan Di Indonesia, dan terus bergerak naik sejak sensus penduduk tahun 2010 silam. Terus merangkak naik, terbalut dalam lebih dari 230 juta manusia Di Indonesia. Bayangkan angka-angka itu. Aku adalah satu titik yang diam, terdiam mungkin lebih tepat atau seperti orang-orang biasa bilang, mati kutu. Lupakan angka-angka membungungkan tadi. Lupakan luas wilayah Sumatera Selatan, atau Palembang. Mari bermain dengan angka satu sampai sepuluh. Mari kita mulai.

Detik pertama, Langkahku terhenti, aku sudah masuk dalam mode berpikir, yang tak bisa dihitung oleh waktu. Entah berapa kecepatan syaraf-syaraf dari mata ke otak, entah berapa kecepatan otakku ini memproses sebuah gambar yang baru saja ditangkap mata, entah seberapa cepat syaraf-syaraf tubuh ini mengirim sinyal dari otak ke otot-otot kaki. Membuatnya berhenti tertahan kurang dari satu detik, satu seper sekian detik. Satu detik, telah lewat, aku mencoba berpikir spontan, melawan definisi mati kutu. Namun, apa yang harus kulakukan di saat-saat seperti ini? Masa lalu adalah masa lalu, permintaan terkhirnya adalah melupakan masa lalu. Kenapa semua kembali lagi, dalam satu detik itu. Aku mencoba tenang, kembali mengambil langkah maju, satu langkah. Bumi kembali diam. Tiga langkah lagi, setengah senti meter wajah itu bergeser. Dua langkah lagi, matanya masih tertutup, seperti slow motion, kelopak matanya perlahan membuka. Tiga detik telah lewat, Aku satu langkah di depanya. Kilat menyambar, mungkin untuk yang terakhir kalinya, tetesan hujan tak lagi turun, matahari muncul dibalik awan-awan mendung. Berusaha menyinari bumi, mengembalikannya pada cahaya. Satu langkah, tak benar-benar berhadapan memang, dia berdiri bersama payung merahnya. Kerudung coklatnya terlihat basah terkena terpaan angin yang membawa rintik hujan. Jangan tanya aku, aku basah kuyup.

Satu detik terakhir, mulut terkunci, muka tegang―dengan sedikit pemaksaan agar tetap normal. Pandangan mata secepat kilat, lebih tepatnya 3×10­8 Km/s. Aku melangkah maju, maaf. 7,2 miliar manusia. Entah mereka tersebar dimana. Entah apa yang mereka lakukan, entah apakah mereka pernah melakukan adegan aneh seperti ini, entah apakah mereka pernah membayangkan bagamana anehnya, entah sudah berapa canggung yang dibebankan spesial untukku hari ini, yang seharsunya dibagi menjadi beberapa canggung lagi dan dibagikan ke lima atau sepuluh orang lagi. Satu detik berlalu lagi, semua berakhir, entahlah, atau semua ini adalah puncak dari semuanya. Kaki kananku sempurna menapak semen trotoar jalan. Tepat disampingnya, bertolak arah. Aku tetap melihat ke depan, aku akan selalu melihat kedepan. Mengambil langkah kuat, mendorong tanah dengan kaki ini. Satu langkah, tanpa kata, tanpa senyum, tanpa jawaban, tanpa alasan, tanpa pengertian. Tanpa sadar, aku berbisik “Takdir kah?”
Tiga langkah sudah aku melewatinya, aku bergegas. Awan mendung ternyata lebih kuat, menekan sinar mentari siang ini, membuatnya tak pantas lagi disebut siang. Hilanglah semangatku. Aku pulang.
7,2 miliar manusia di bumi ini. Aku adalah sebuah titik yang menjauh dari pusat pertemuan, menikmati kesendirian. 7,2 miliar manusia, dan aku sendiriran.
...

Sumber Gambar:
http://statis.dakwatuna.com/wp-content/uploads/2013/11/kartun-muslimah-payung-hujan.jpg
Edited with AdobePhotoshop
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgueUI2z3hssNrs2Sqp5tCeAdw0uHPN8YhOufvXvNRE0F_hB8dApAzfEomNvWlGrKWF02-n4Q1lGjVbbejAJ77dyAnTue9FuiDY6p02JYc-2YeIu1u29XcG1vm48Id9GmgeAhMTT7dk2xVR/s1600/hati3.jpg
Imperfect Harmonies_


...
Oh ya, Aku sempatkan mampir di ATM, memasukkan kartu dan pin, mengecek saldo, dan kembali menangis, dalam hati.

Minggu, 08 Juni 2014

Dua Kali, Lagi.



                “Kukira semua sudah berakhir, Kankila?” langsung, aku akan langsung ke poin utama. Matahari sudah tak lagi tertarik dengan permasalahanku. Semuanya harus berkahir hari ini.
                “Bukankah semua sudah jelas? Kau sudah membaca buku itu bukan?” Aku maju beberapa langkah, menjauh beberapa langkah didepannya. Aku tak akan membalikkan punggungku, semuanya sudah berakhir.
“Kenapa kau diam?” Aku tak tahan lagi, ini bukan aku yang biasanya, ini orang lain. Dan kau, kau juga bukan dirimu yang biasanya.
                Matahari akhirnya hilang, meninggalkan bayang-bayang gedung pencakar di seluruh kota, sunyi. Untuk sebuah kota wisata, kota ini memang sangat sepi―selain karena hari ini memang hari raya nyepi, namun turis-turis yang biasa berlalu lalang―yang tak peduli waktu―juga tak terlihat.  Pantaslah disebut hari raya nyepi, karena seluruh kegiatan kota―bahkan pulau, ditutup. Bandara, restoran, kafetaria, hotel. Entahlah bagaimana nasib orang sakit, jika rumah sakit juga tutup, tapi hati mana yang tega melihat orang merintih. Sayangnya tak ada yang bisa melihat sakit yang diderita hati, sekencang apapun jeritannya, tak ada yang mendengar.
                “K-kau...” Kata-katanya terpotong, dua detik, tiga detik, lima detik, sembilan detik, tujuh belas detik, kata-kata itu tak akan pernah keluar.
                “Bukankah semua sudah jelas? Apalagi yang kau inginkan?”
                “A-aku...” Detik-detik itu kembali, aku benci ini. Canggung, aku tak tahan lagi―sebenarnya. Aku mencoba terus melihat kedepan, menahan raga untuk segera membalik badan. Aku tak akan bisa lagi melihatnya meneteskan air mata, walau hanya setetes, walau air mata itu hanya bersarang di pelupuk mata, menjadi kaca bening lembutnya hati yang sakit. Biarlah, terkahir kali aku menunggu, bahkan ketika aku memang sedang menunggu, saat senyumku sudah merekah, menghangatkan suasana, membuat cantik biji-biji pohon mahoni yang berputar mengarah angin. Memberikan harapan-harapan, menjadi bukti kesempatan, menjadi harapan kelanjutan indahnya pohon itu. Namun sebentar saja―cukup dua detik, saat aku membalikkan badan. Yang kulihat hanya ransel pink miliknya, sambil berjalan menjauh. Mengembangkan payung merah, dengan aksen kuning di ujung-ujung payung. Membawa harapan-harapan itu. Pergi menjauh. Semua sudah cukup menyenangkan.
                “Kau sudah membaca buku itu bukan?” Aku memastikan sekali lagi. “Seharusnya kau mengerti.” Aku tak mau menunggu, aku akan mendominasi percakapan ini. Semua harus berakhir sore ini. “Kau tak akan meminta penjelasan itu lagi, kan?” Berusaha menahan intonasi, menjaga air mata itu.
                Sunyi, sore tetap sunyi. Kankila membisu, sepertinya ia sedang berpikir. Tak terdengar suara sama sekali, dunia terlalu sepi. Aku tak menyukainya.
                “Kau...” Lagi-lagi terpotong, apa yang kau pikirkan Kila? Sebenarnya, apa yang kau inginkan? Semua sudah selesai, semua sudah kuungkapkan dalam buku itu. Semua harus selesai detik ini.
                “Aku tak tau, kata apa yang harus aku pakai”
                “Hah?” Dia bicara, sekarang dia benar-benar bicara.
                “Aku memang bukan seorang penulis hebat sepertimu, aku bukanlah seseorang yang terlahir dengan kehidupan sesempurna kehidupanmu, walau aku tau, orang tuamu meninggal tragis dalam kecelakaan, aku tau masa lalumu yang bermata dingin, tak pernah menyentuh seorangpun. Terus menerus membawa buku kecil, menulis, menulis. Aku bukan orang sepertimu, yang hidup tanpa memiliki kekhawatiran untuk tetap hidup. Bertahan!”
                Aku menelan ludah, mencoba untuk tetap terkendali. Kankila juga terdengar ternang, tak ada getaran dalam intonasi suaranya. “Aku tau, kau pernah membunuh seseorang, walau membunuh bukan dalam pengartian secara harfiah. Aku tau, aku sudah membaca buku itu, Alif!”
                Dia menyebut namaku? Aku hapmpir saja menoleh, suaranya mulai bergetar. “Tapi, tapi...” Sekarang, ia benar-benar menangis. Tuhan, kena kutuk apa hambamu ini. Kembali menyaksikan tangisannya. Satu detik, ternyata hanya satu detik. Semua berubah. Satu detik, entah bagaimana otak ini bekerja. Aku bersiap membalikkan badan. Satu detik. Ransel pink itu tepat menghadap wajahku, lagi. Bedanya, hanya payung merah itu, yang tergeletak asal dalam kamarku. Barang yang tak pernah bisa aku kembalikan. Satu detik, dua detik, tiga detik. Smartphone-ku bergetar di saku jaketku. 0317? Empat digit terakhir, nomor itu. Aku menelan ludah, melempar jauh smartphone itu. Mengeluarkan notebook lengkap dengan pensil mekanik. 22 Maret 2018, aku tak akan pernah punya kesempatan.
               
...

_Imperfect Harmonies

Sabtu, 07 Juni 2014

Marry Your Daughter

Lelaki sejati, langsung mengutarakan niat ke Orang tuanya. Dengan keyakinan sepenuhnya, menghapus kemungkinan-kemungkinan buruk. Bicara tentang perasaan, sebenarnya simpel, kata-kata kebersamaan, rangkaian senyum indah, menghabiskan waktu bersama, bersenang-senang, menghadapi semua bersama, tetap tersenyum, saling bertatap, bergurau canda, tertawa bersama, bersama, bersama, dan kebersamaan. Simple, yang biasa menyakitkan. karena satu dua keraguan. Membuat semua menjadi rumit. Bahkan hanya untuk berkata, sulit. Namun terkadang, kita harus memaksa cerita hidup agar sejalan dengan yang kita harapkan. Itulah usaha. Dan lagu ini bisa menjadi salah satu jembatan, jembatan kehalalan.

Sir, I'm a bit nervous
'Bout being here today
Still not real sure what I'm going to say
So bare with me please
If I take up too much of your time,
See in this box is a ring for your oldest
She's my everything and all that I know is
It would be such a relief if I knew that we were on the same side
Very soon I'm hoping that I...

Can marry your daughter
And make her my wife
I want her to be the only girl that I love for the rest of my life
And give her the best of me 'till the day that I die, yeah

Kamis, 05 Juni 2014

Siapa bilang?


               Siapa bilang metamorfosis hanya untuk serangga? Kata siapa manusia tak bisa berubah lebih baik? Kau tau? seorang yang paling beruntung adalah mereka yang bisa menjadi saksi atas keberhasilan dari metamorfosis itu. Seperti seorang peneliti yang akan langsung tersenyum melihat perubahan seekor ulat yang menjijikkan, menjadi kupu-kupu cantik, indah. Dan kau tau? Aku adalah seseorang yang beruntung bisa menyaksikanmu berubah, menjadi manusia yang lebih baik. Cantik, indah, seperti seekor kupu-kupu. Aku ingin mengatakan itu susah, memang, pasti melalui tahap-tahap sulit. Seperti saat sang kupu-kupu baru keluar dari kepompongnya. Degan sayap yang masih kusut, tak berbentuk. Butuh waktu memang, untuk membuat sayap itu halus, lurus, normal, cantik tak terkalahkan. Aku memang bukanlah seorang peneliti, bukan seorang pengamat, bukan seorang profesor yang mendapatkan penghargaan setelah menajadi seorang saksi berubahanmu. Namun senyumku juga mengembang, senyumku merekah-ruah melihatmu dengan Kerudung panjang, menutupi pundak, menutupi dada, menjulur indah sampai ke ujung tanganmu. Kau tau? Jika aku mengingat senyum itu, bisa dihitung sebagai senyum terindah yang pernah kuukir, sebuah ekspresi pengapresiasian tingkat tinggi. Sebuah senyum, untuk mengungkapkan betapa indahnya perasaan ini, melihatmu sempurna.
                Siapa bilang wangi parfum akan hilang hanya dengan mandi? Siapa bilang, keindahan fisik akan hilang seiring berjalannya waktu? Siapa bilang manusia pasti akan lupa semuanya? Kau tau, jika hati yang senang, otak akan terus merekam. Menjaganya dari segala virus, selalu bersiap saat hati sedih, hal-hal itulah yang akan otak keluarkan untuk menjadi sebuah motivasi senyum untuk kembali mengembang. Lagilagi, aku memproklamasikan bahwa aku adalah orang yang beruntung, bisa meihatmu berubah. Disinilah aku salah, disinilah semua yang kau lakukan membuktikan bahwa aku salah. Dan aku minta maaf, sebelumnya. Kalau boleh jujur, kebencianku untukmu sebelumnya tak tertahankan. Ingin sekali membunuhmu, melakukan apa saja untuk membuatmu hilang dari dunia ini. Seperti seorang petani yang melihat ulat―musuh bebuyutannya, ingin sekali aku membuang hama itu dari kehidupanku. Tapi, lagi-lagi. Aku minta maaf, untuk rasa yang mungkin tak pernah kau lihat. Masalahnya memang ada padaku, tak ingin bersabar dengan keadaanmu sebelumnya. Namun, setelah itu, salutku yang tertinggi untukmu.
                Siapa bilang orang yang beruntung hanya mereka-mereka yang tiba-tiba tersandung sekarung uang? Siapa bilang, orang yang beruntung hanyalah mereka yang tak bekerja, lantas mendapatkan hadiah undian sabun mandi dan mendadak kaya? Kau tau, aku sudah merasa menjadi seseorang yang paling beruntung bisa melihat perubahanmu, merasa paling beruntung bisa mengenalmu, menjadi teman, saksi langkah-langkah kesempurnaanmu. Kuharap kau akan selalu seperti itu, berubah lebih baik. Menjadi lebih cantik, bersinar dengan akhlak. Yang tentu sudah didukung oleh hijab-mu. Menjadi cahaya bagi mereka yang belum menikmatinya. Menjadi orang yang lebih beruntung dariku, karena menjadi pribadi yang terus berubah lebih baik. Tenang saja, aku juga telah sedikit berubah. Mengingat sebuah hadits : “Cintailah kekasihmu (secara) sedang-sedang saja, siapa tahu disuatu hari nanti dia akan menjadi musuhmu; dan bencilah orang yang engkau benci (secara) biasa-biasa saja, siapa tahu pada suatu hari nanti dia akan menjadi kecintaanmu.” Dan benarlah, seharusnya aku tak perlu membencimu sampai terlampau jauh. Memikirkan hal-hal negatif, sehingga sekarang, penyesalankulah yang paling besar saat ini. Aku bersyukur. Sekarang, aku ingin berdamai dengan semuanya, dengan masa lalu. Belajar mencintai semuanya. Dengan hati yang baru, hati yang diperbarui. Terimakasih, telah menyadarkanku dari dunia gelap, menjadi satu lagi matahari yang menghangatkanku di duniaku yang gelap ini.
Aku merestuimu.


_Imperfect Harmonies