…
Semuanya berubah, seiring dengan berubahnya lagu yang kudengar. Beats-beats
yang berubah lebih cepat. Menyesuaikan detak jantung yang semakin kencang.
Bergemuruh, awan gelap, tetes-tetes hujan, angin-angin hujan. Aku tetap
bertahan. Dua kali, dua jam menunggu, sia-sia. Semuanya berlalu tanpa
pemberitahuan, tanpa penjelasan. Hati mulai bertanya-tanya, merangkai kembali
kejadian-kejadian sebelumnya. Berusaha mengingat kata-kata yang terlupa―dilupakan,
kata itu lebih tepat. Siapa yang akan menyelamatkanku dalam suasana seperti
ini. Orang-orang juga mempunyai masalahnya sendiri, hanya orang aneh yang
mencari masalah dengan orang lain. Tentu, apalagi mencari masalah denganku ini.
Aku sengaja berjalan di genangan air, kapilaritas mulai membuat sepatuku basah,
menembus kaus kaki panjang itu. Menurunkan payung, berjalan lebih cepat. Peduli
amat dengan hujan, peduli amat dengan teriakan-teriakan sel tubuh, untuk segera
melindungi diri dari dingin. Peduli amat. Sekarang, seluruh tubuhku sedang
dikendalikan penuh oleh perasaan, yah, perasaan itu. Tak ada lagi yang
tersisa, pohon itu, tak lagi terlihat. Aku telah jauh berlari, meninggalkan
semua harapan untuk sekali saja bertemu. Walau untuk terakhir kali. Bingung,
kecewa, khawatir, bercampur semurna dengan desahan lambatku. Dingin.
Satu, belokan ke kanan, melanjutkan sprint ku melawan hujan. Dua ratus
meter sudah kulewati. seratus meter lagi, dan satu belokan ke kiri. Semuanya,
akan kulepaskan, semuanya. Lagi, lagi menabrak satu dua orang. Peduli amat
dengan mereka. Kutambah kecepatanku, kaki ini sudah seperti detakan jantung
yang berderap kencang. Mengalahkan dingin, mengalahkan rasa sakit, yang entah
kenapa, dua kali, tepat dua menit tujuh belas detik setelah dua jam itu.
Semuanya menjadi dua kali lipat. Rasa sakitku, jantung yang tertusuk hampa,
kehampaan. Sebuah pisau yang tak pernah bisa dilihat oleh mereka-mereka itu.
Namun sakitnya, sakitnya. Lima puluh meter lagi. Dua puluh lima meter lagi,
sepuluh meter, lima meter...
“Aaaaarrrrrrrrrrrrrrrrgggghhhh!!!”
Berteriak sekuat tenaga, dua kali. “Aaaaaaaaaaaaaarrrrrrrrrgggggggghhh!!!” lebih
kencang. Menarik nafas, dua detik. Terduduk, menunduk. Mbelusuk.
Sebuah tangan menepuk pundakku, “Wah, jika
bukan Alif, siapa lagi.”
“Diam
kau!” Seperseratus detik, mengenali bahwa itu suara Diki, nadaku sedikit nyegak.“Tenang
Lif, aku sudah tau bahwa akhirnya akan seperti ini, memang siapa kau? Mengembalikan
barang miliknya saja kau tak berhak.” Sedikit nyengir, dengan wajah mengejek. Ku
belah kaki kananya, terjatuh, meringis. “Sabar Lif, kau kasar sekali
dengan teman!”
Aku
tak peduli.
Danau
bekas galian batu bara ini berisik, hujan semakin deras. Aku tetap enggan
mendengar seruan sel-sel tubuh yang mulai menggigil. Menengadah, menantang
hari, apakah hari ini bisa lebih buruk dari ini. Diki ternyata hebat, selain
hebat dalam hal ejek-mengejek. Ternyata
dia memiliki sebuah anugerah yang tak dimiliki manusia lain. Diam. Setelah
duduk terjatuh karena pukulanku tadi, dia diam. Entah apa yang dipikirkannya. Dua
kali, kali kedua aku merenung di danau ini, sekarang hanya bersama Diki yang
menungguku meneriakkan semua yang tak bisa dirangkai menjadi kata-kata. Sebuah kebiasaan
yang susah ditinggalkan, menceritakkan semuanya kepada alam, dengan satu huruf,
satu suara, satu nafas. Dua kali.
Kemana kau pergi, Ra?
...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus