Rabu, 04 Juni 2014

Dua, kali.



                Semuanya berubah, seiring dengan berubahnya lagu yang kudengar. Beats-beats ­yang berubah lebih cepat. Menyesuaikan detak jantung yang semakin kencang. Bergemuruh, awan gelap, tetes-tetes hujan, angin-angin hujan. Aku tetap bertahan. Dua kali, dua jam menunggu, sia-sia. Semuanya berlalu tanpa pemberitahuan, tanpa penjelasan. Hati mulai bertanya-tanya, merangkai kembali kejadian-kejadian sebelumnya. Berusaha mengingat kata-kata yang terlupa―dilupakan, kata itu lebih tepat. Siapa yang akan menyelamatkanku dalam suasana seperti ini. Orang-orang juga mempunyai masalahnya sendiri, hanya orang aneh yang mencari masalah dengan orang lain. Tentu, apalagi mencari masalah denganku ini. Aku sengaja berjalan di genangan air, kapilaritas mulai membuat sepatuku basah, menembus kaus kaki panjang itu. Menurunkan payung, berjalan lebih cepat. Peduli amat dengan hujan, peduli amat dengan teriakan-teriakan sel tubuh, untuk segera melindungi diri dari dingin. Peduli amat. Sekarang, seluruh tubuhku sedang dikendalikan penuh oleh perasaan, yah, perasaan itu. Tak ada lagi yang tersisa, pohon itu, tak lagi terlihat. Aku telah jauh berlari, meninggalkan semua harapan untuk sekali saja bertemu. Walau untuk terakhir kali. Bingung, kecewa, khawatir, bercampur semurna dengan desahan lambatku. Dingin.
                Satu, belokan ke kanan, melanjutkan sprint ku melawan hujan. Dua ratus meter sudah kulewati. seratus meter lagi, dan satu belokan ke kiri. Semuanya, akan kulepaskan, semuanya. Lagi, lagi menabrak satu dua orang. Peduli amat dengan mereka. Kutambah kecepatanku, kaki ini sudah seperti detakan jantung yang berderap kencang. Mengalahkan dingin, mengalahkan rasa sakit, yang entah kenapa, dua kali, tepat dua menit tujuh belas detik setelah dua jam itu. Semuanya menjadi dua kali lipat. Rasa sakitku, jantung yang tertusuk hampa, kehampaan. Sebuah pisau yang tak pernah bisa dilihat oleh mereka-mereka itu. Namun sakitnya, sakitnya. Lima puluh meter lagi. Dua puluh lima meter lagi, sepuluh meter, lima meter...
 “Aaaaarrrrrrrrrrrrrrrrgggghhhh!!!” Berteriak sekuat tenaga, dua kali. “Aaaaaaaaaaaaaarrrrrrrrrgggggggghhh!!!” lebih kencang. Menarik nafas, dua detik. Terduduk, menunduk. Mbelusuk.
                Sebuah tangan menepuk pundakku, “Wah, jika bukan Alif, siapa lagi.”
                “Diam kau!” Seperseratus detik, mengenali bahwa itu suara Diki, nadaku sedikit nyegak.“Tenang Lif, aku sudah tau bahwa akhirnya akan seperti ini, memang siapa kau? Mengembalikan barang miliknya saja kau tak berhak.” Sedikit nyengir, dengan wajah mengejek. Ku belah kaki kananya, terjatuh, meringis. “Sabar Lif, kau kasar sekali dengan teman!”
                Aku tak peduli.

                Danau bekas galian batu bara ini berisik, hujan semakin deras. Aku tetap enggan mendengar seruan sel-sel tubuh yang mulai menggigil. Menengadah, menantang hari, apakah hari ini bisa lebih buruk dari ini. Diki ternyata hebat, selain hebat dalam hal ejek-mengejek.  Ternyata dia memiliki sebuah anugerah yang tak dimiliki manusia lain. Diam. Setelah duduk terjatuh karena pukulanku tadi, dia diam. Entah apa yang dipikirkannya. Dua kali, kali kedua aku merenung di danau ini, sekarang hanya bersama Diki yang menungguku meneriakkan semua yang tak bisa dirangkai menjadi kata-kata. Sebuah kebiasaan yang susah ditinggalkan, menceritakkan semuanya kepada alam, dengan satu huruf, satu suara, satu nafas. Dua kali.

        Kemana kau pergi, Ra?
                ...

1 komentar: