Sabtu, 17 Mei 2014

Aku Pulang



Emosi. Akhirnya. Aku selalu lupa apa yang pernah kukatakan. Bagus, kata mereka. Mudah sekali bagimu melupakan masa lalu. Atau hanya aku yang menyesal, karena mengingat sebuah nama saja sulit. Apalagi semua kejadian yang pernah kita lakukan bersama. Bukankah itu penting? Saat seseorang ingin tersenyum, yang paling mudah adalah mengingat kenangan indah itu. Bersyukurlah kalian, karena saat ku bermimpi, yang kudapatkan hanyalah pecahan-pecahan kecil. Bagian dari memori yang hancur, dan dari semua itu, pecahan yang paling besar, adalah memori buruk. Yang mensubjekkan seseorang. Walau pertemuan itu hanya beberapa detik, mudah sekali menghancurkan sebuah komitmen. Yang memang, kami pikir semuanya hanya sebatas dua insan. Seberapa kuat komitmen, niat, jika memang sudah tertuliskan di lauh mahfudz. Lalu, kembali gelap. Dan layar untuk kita, sudah tertutup. Bad ending.
Dan di pertemuan kedua, semua berubah. Ternyata, latar belakang dari semua itu hanyalah sebuah reaksi dari penyesalan selama ini. Masa kelam dari kehidupan sebelumnya, akhirnya aku mengerti semua ini. ada sedikit rasa menyesal, kenapa aku tak bisa menjadi cahayamu, sebatang lilin yang rela mengorbankan seluruh tubuhnya untuk menjadi setitik cahayamu. Akhirnya aku menyerah,  aku terlalu naif, egois, bukan ini yang namanya Ukhuwah! Ia lebih berhasil daripada ini! karena semua yang kita tanam akan kembali setelahnya. We building it up! To break it back down! We can’t wait, to burn it to the ground! Terngiang sebuah lirik, burn it down. Semua yang terjadi, semua yang kita lakukan, semakin besar ikatan kita. Hanya untuk satu tujuan, merubuhkannya dan mengembalikan kita kembali ke orang asing sebelum Lebih asing disaat belum bertemu. Bahkan lebih asing dari seorang manusia yang melihat makhluk baru. Jarak kita pun semakin jauh, bukan hanya jarak yang bisa dihitung dengan meteran. Namun angka-angka yang tak bisa dihitung mewakili jauhnya hati ini. Ah, entah kenapa aku pernah berpikiran seperti itu, menjadi orang lain.
Bukankah ia selalu ingin menjadi orang sepertiku, seperti sifatku―gaya acuhku. Ah, semakin kupikirkan, semakin aku membenci diriku yang lain, yang tega membuat jarak seperti itu. Tunggu, bukankah memang ini yang kuinginkan selama ini. Menjauhkan mereka―bukan―menjauhkanmu agar perasaan ini mati terkubur, terkubur jarak antara kita. Namun hasilnya? Yang tercipta hanyalah rasa bersalah, entah apa hal yang terakhir aku lakukan saat itu, disaat-saat terkahir mengambil sebuah keputusan. De ja vu? Sepertinya aku mengenal rasa ini,campur aduk anara kekesalan, mungkin juga rasa senang. Namun ada yang lebih endominasi, apakah itu? Kenapa muncul pertanyaan-pertanyaan ini―haruskah aku kembali? Tkembali mekat dan meminta maaf? Maaf yang seharusnya kukatakan sebelumnya, sebelum aku menjadi orang lain, lain dari idolamu yang dulu, dulu sekali.
Aku pulang.

Ke masa lalu.

_Imperfect Harmonies

Tidak ada komentar:

Posting Komentar