...
Lebih dari 7 juta Jiwa, berlalu lalang Di
Sumatera Selatan, tersebar di 8,7 juta kilometer persegi, dan salah satunya,
Aku. 561.458 orang, tergabung Dalam Musi Banyuasin, dan
Aku salah satunya. 288.450 orang teridentifikasi sebagai laki-laki di kabupaten ini. Salah satunya, Aku. 54.630
pasang mata, berhamburan dalam kota
ini, Sungai Lilin, dan salah satunya, Aku. Bergabung, melebur dengan 1.7 juta pasang kaki yang melangkah tak
perduli, menekan bumi Palmebang, bersama hiruk pikuk suasana kota. Ramai dengan
masalah dalam sudut-sudut kehidupannya. Tepatnya, 7.450.340 Jiwa, berlalu
lalang Di Sumatera Selatan, dan salah satunya, Dia. 561.458
orang, tergabung Dalam Musi Banyuasin, dan Dia salah satunya. Lebih dari 118 juta Perempuan Di
Indonesia, dan terus bergerak naik sejak sensus penduduk tahun 2010 silam.
Terus merangkak naik, terbalut dalam lebih dari 230 juta manusia Di Indonesia.
Bayangkan angka-angka itu. Aku adalah satu titik yang diam, terdiam
mungkin lebih tepat atau seperti orang-orang biasa bilang, mati kutu. Lupakan
angka-angka membungungkan tadi. Lupakan luas wilayah Sumatera Selatan, atau
Palembang. Mari bermain dengan angka satu sampai sepuluh. Mari kita mulai.
Detik pertama, Langkahku terhenti, aku
sudah masuk dalam mode berpikir, yang tak bisa dihitung oleh waktu. Entah
berapa kecepatan syaraf-syaraf dari mata ke otak, entah berapa kecepatan otakku
ini memproses sebuah gambar yang baru saja ditangkap mata, entah seberapa cepat
syaraf-syaraf tubuh ini mengirim sinyal dari otak ke otot-otot kaki. Membuatnya
berhenti tertahan kurang dari satu detik, satu seper sekian detik. Satu detik,
telah lewat, aku mencoba berpikir spontan, melawan definisi mati kutu.
Namun, apa yang harus kulakukan di saat-saat seperti ini? Masa lalu adalah masa
lalu, permintaan terkhirnya adalah melupakan masa lalu. Kenapa semua kembali
lagi, dalam satu detik itu. Aku mencoba tenang, kembali mengambil langkah maju,
satu langkah. Bumi kembali diam. Tiga langkah lagi, setengah senti meter wajah
itu bergeser. Dua langkah lagi, matanya masih tertutup, seperti slow motion,
kelopak matanya perlahan membuka. Tiga detik telah lewat, Aku satu langkah di
depanya. Kilat menyambar, mungkin untuk yang terakhir kalinya, tetesan hujan tak
lagi turun, matahari muncul dibalik awan-awan mendung. Berusaha menyinari bumi,
mengembalikannya pada cahaya. Satu langkah, tak benar-benar berhadapan memang, dia
berdiri bersama payung merahnya. Kerudung coklatnya terlihat basah terkena
terpaan angin yang membawa rintik hujan. Jangan tanya aku, aku basah kuyup.
Satu detik terakhir, mulut terkunci, muka
tegang―dengan sedikit pemaksaan agar tetap normal. Pandangan mata secepat
kilat, lebih tepatnya 3×108 Km/s. Aku melangkah maju, maaf. 7,2
miliar manusia. Entah mereka tersebar dimana. Entah apa yang mereka lakukan,
entah apakah mereka pernah melakukan adegan aneh seperti ini, entah apakah
mereka pernah membayangkan bagamana anehnya, entah sudah berapa canggung yang
dibebankan spesial untukku hari ini, yang seharsunya dibagi menjadi beberapa
canggung lagi dan dibagikan ke lima atau sepuluh orang lagi. Satu detik berlalu
lagi, semua berakhir, entahlah, atau semua ini adalah puncak dari semuanya. Kaki
kananku sempurna menapak semen trotoar jalan. Tepat disampingnya, bertolak
arah. Aku tetap melihat ke depan, aku akan selalu melihat kedepan. Mengambil
langkah kuat, mendorong tanah dengan kaki ini. Satu langkah, tanpa kata, tanpa
senyum, tanpa jawaban, tanpa alasan, tanpa pengertian. Tanpa sadar, aku
berbisik “Takdir kah?”
Tiga langkah sudah aku melewatinya, aku
bergegas. Awan mendung ternyata lebih kuat, menekan sinar mentari siang ini,
membuatnya tak pantas lagi disebut siang. Hilanglah semangatku. Aku pulang.
7,2 miliar manusia di bumi ini. Aku adalah sebuah titik yang menjauh dari pusat pertemuan, menikmati kesendirian. 7,2 miliar manusia, dan aku sendiriran.
...
Sumber Gambar:
http://statis.dakwatuna.com/wp-content/uploads/2013/11/kartun-muslimah-payung-hujan.jpg
Edited with AdobePhotoshop
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgueUI2z3hssNrs2Sqp5tCeAdw0uHPN8YhOufvXvNRE0F_hB8dApAzfEomNvWlGrKWF02-n4Q1lGjVbbejAJ77dyAnTue9FuiDY6p02JYc-2YeIu1u29XcG1vm48Id9GmgeAhMTT7dk2xVR/s1600/hati3.jpg
http://statis.dakwatuna.com/wp-content/uploads/2013/11/kartun-muslimah-payung-hujan.jpg
Edited with AdobePhotoshop
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgueUI2z3hssNrs2Sqp5tCeAdw0uHPN8YhOufvXvNRE0F_hB8dApAzfEomNvWlGrKWF02-n4Q1lGjVbbejAJ77dyAnTue9FuiDY6p02JYc-2YeIu1u29XcG1vm48Id9GmgeAhMTT7dk2xVR/s1600/hati3.jpg
Imperfect Harmonies_
...
Oh ya, Aku sempatkan mampir di ATM, memasukkan kartu dan pin, mengecek saldo, dan kembali menangis, dalam hati.
Oh ya, Aku sempatkan mampir di ATM, memasukkan kartu dan pin, mengecek saldo, dan kembali menangis, dalam hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar