Rabu, 04 Juni 2014

Selamat tinggal, Kankila.

Taukah kau, Ila, terkahir kali aku membaca message yang kau kirimkan. Aku enggan membalasnya, bukan karena aku memang seperti itu.  Terlebih, aku ingin kau melihatku dengan tatapanmu sendiri. Bukan membenarkan apa yang mereka sepakati, lihatlah mataku. Lihatlah apa yang ada di dalamnya. Rasakan kepedihanku selama ini. Aku ingin kau benar-benar menguji apakah ada orang lain dalam mataku ini. Apakah mata ini masih saja berbohong, menampilkan orang lain? Aku selalu ingin bertaya semua tentang diriku, semua yang kau lihat. Yang kau lihat, bukan mereka. Kankila, tolong. Lihatlah dengan keyakinanmu sendiri, nilailah dengan hatimu sendiri, sudahkah setiap inci dari kehidupanku ini menjadi seperti yang kau inginkan selama ini. Sudahkah? Sudah selesaikah misiku di dunia ini, dengan menyelesaikan satu senyuman yang dapat membuatmu mengukir kembali senyum itu saat kau mengingatnya. Sudahkah?

Taukah kau, Ila, raga ini sedang menderita. Entah karena apa. Aku tak bisa merasakan detak jantungku. Yang kurasakan di dada kiriku hanyalah rasa sakit dari kata itu, kata-kata mereka. Kankila, buktikanlah, rasakanlah sendiri olehmu, betapa aku tak ingin lagi menjadi orang lain. Namun kenapa semua itu tak cukup bagimu? Sampai detik ini, Ila. Aku masih mencekram kuat dada kiriku. Sakit, kau tau? Sakit itu tak hilang, entah kenapa, ini sudah hari ketiga aku mencari jawaban dengan perasaanku sendiri. Menebak-nebak apa yang benar-benar sedang kau pikirkan disana. Menimbang-nimbang semua yang pernah kau lakukan, melihat latar belakang kehidupanmu yang diam-diam kuperhatikan selama enam tahun terakhir. Bahkan satu tahun terakhir ini, tahun yang membuatku ragu akan prinsipmu yang tak akan bisa digores, bahkan dengan titanium—logam terkuat yang pernah ada di bumi, tak akan tergores. Sekeras adamantium yang memang hanya imajinasi belaka. Tapi, rasa sakit ini Ila—detak jantung yang hilang ditelan rasa sakit, semua ini nyata. Bukan hanya sebuah imajinasi. Betapa kuatnya perasaan itu, yang terus membuat kesimplan ter-absurd yang dapat diciptakan oleh perasaanku, menjadi tombak adamantium yang mengoyak dada ini. Menghilangkan detak setiap detik jantung.

Kankila, kuharap kau mengerti, bahwa namamu bukanlah yang sebenarnya. Tulisanku juga bukan untuk mengatakan yang sebenarnya. Yang sebenarnya, ingin kusampaikan sejak lama. Sejak kau menjadi bendahara dalam mimpi burukku. Memberikan senyum setiap aku kembali ke base camp, menemuimu, tersenyum bersama. Me-review hasil dari perang yang sangat singkat itu. Menghitung uang yang kudapatkan, bercecer seperti koin-koin dari sebuah game. Saat kemenanganku diselebrasikan bersamamu. Saat aku terbangun, dan mulai merealisasikan semuanya. Yang sebenarnya, perasaan yang muncul, bibit-bibit itu, yang kupangkas satu tumbuh seratus ribu. Memenuh-sesak dalam hati ini. Mangalahkan asma yang kambuh saat ini, mengalahkan desing nafas yang semakin berat. Berat, berat, berat sekali melihatmu berjalan menjauh. Salahku memang, hak mu memang. Namun berat, sesak, apalah namanya. Kuharap kau mengerti, semua yang belum bisa kumengerti, dan tak akan bisa kau mengeti.

Kankila, kuharap kau mengerti, saat semua ini sudah mencapai klimaksnya, terhenti di puncak. tanpa antiklimaks. Aku ingin kau mengerti. Saat mata ini sudah tak lagi dapat melihatmu. Saat mata ini, sudah tak lagi dapat berkedip, tubuh dingin, muka pucat, nadi berhenti, nafas tak terasa. Aku ingin, saat semua berkahir, kau tak lagi bertanya tentang penjelasan-penjelasan. Tentang latar belakang, atau tujuanku melakukan semua ini. Aku ingin kau tak lagi sibuk, khawatir, menduga-duga, tujuan yang sebenarnya. Aku harap, sangat kuharapakan jika semua ini tak harus berkahir dengan penjelasan. Aku harap, kau puas dengan semua yang telah terjadi. Walau tanpa penjelasan, walau tanpa kenangan. Selain sebuah buku catatan, coretan-coretan kecil—yang mungkin tak akan pernah bisa kau baca. Aku ingin kau tetap melanjutkan hidup, tanpa pertanyaan yang tak pernah bisa kujawab lagi.

Kankila. Aku mencintaimu, dengan seluruh pengartian yang tak pernah bisa kau bayangkan. Aku mencintaimu, selamat tinggal.

*Satu pertanyaan itu bisa menjawab semuanya.
*Sakit hati ternyata menyenangkan.

_Imperfect Harmonies

Tidak ada komentar:

Posting Komentar