Emosi. Akhirnya. Aku selalu lupa apa yang
pernah kukatakan. Bagus, kata mereka. Mudah sekali bagimu melupakan masa lalu.
Atau hanya aku yang menyesal, karena mengingat sebuah nama saja sulit. Apalagi
semua kejadian yang pernah kita lakukan bersama. Bukankah itu penting? Saat
seseorang ingin tersenyum, yang paling mudah adalah mengingat kenangan indah
itu. Bersyukurlah kalian, karena saat ku bermimpi, yang kudapatkan hanyalah
pecahan-pecahan kecil. Bagian dari memori yang hancur, dan dari semua itu,
pecahan yang paling besar, adalah memori buruk. Yang mensubjekkan seseorang.
Walau pertemuan itu hanya beberapa detik, mudah sekali menghancurkan sebuah
komitmen. Yang memang, kami pikir semuanya hanya sebatas dua insan. Seberapa
kuat komitmen, niat, jika memang sudah tertuliskan di lauh mahfudz.
Lalu, kembali gelap. Dan layar untuk kita, sudah tertutup. Bad ending.
Dan di pertemuan kedua, semua berubah. Ternyata, latar belakang dari semua
itu hanyalah sebuah reaksi dari penyesalan selama ini. Masa kelam dari
kehidupan sebelumnya, akhirnya aku mengerti semua ini. ada sedikit rasa
menyesal, kenapa aku tak bisa menjadi cahayamu, sebatang lilin yang rela
mengorbankan seluruh tubuhnya untuk menjadi setitik cahayamu. Akhirnya aku
menyerah, aku terlalu naif, egois, bukan
ini yang namanya Ukhuwah! Ia lebih berhasil daripada ini! karena semua
yang kita tanam akan kembali setelahnya. We building it up! To break it back
down! We can’t wait, to burn it to the ground! Terngiang sebuah
lirik, burn it down. Semua yang terjadi, semua yang kita lakukan,
semakin besar ikatan kita. Hanya untuk satu tujuan, merubuhkannya dan
mengembalikan kita kembali ke orang asing sebelum Lebih asing disaat belum
bertemu. Bahkan lebih asing dari seorang manusia yang melihat makhluk baru. Jarak
kita pun semakin jauh, bukan hanya jarak yang bisa dihitung dengan meteran.
Namun angka-angka yang tak bisa dihitung mewakili jauhnya hati ini. Ah, entah
kenapa aku pernah berpikiran seperti itu, menjadi orang lain.
Bukankah ia selalu ingin menjadi orang
sepertiku, seperti sifatku―gaya acuhku. Ah, semakin kupikirkan, semakin aku
membenci diriku yang lain, yang tega membuat jarak seperti itu. Tunggu,
bukankah memang ini yang kuinginkan selama ini. Menjauhkan mereka―bukan―menjauhkanmu
agar perasaan ini mati terkubur, terkubur jarak antara kita. Namun hasilnya?
Yang tercipta hanyalah rasa bersalah, entah apa hal yang terakhir aku lakukan
saat itu, disaat-saat terkahir mengambil sebuah keputusan. De ja vu?
Sepertinya aku mengenal rasa ini,campur aduk anara kekesalan, mungkin juga rasa
senang. Namun ada yang lebih endominasi, apakah itu? Kenapa muncul pertanyaan-pertanyaan
ini―haruskah aku kembali? Tkembali mekat dan meminta maaf? Maaf yang seharusnya
kukatakan sebelumnya, sebelum aku menjadi orang lain, lain dari idolamu yang
dulu, dulu sekali.
Aku pulang.
Ke masa lalu.
_Imperfect Harmonies