Seorang sahabat berkata kepadaku, “Lif, aku telah membuat
janji itu.”
***
Malam ini indah, bulan sabit berada
tepat di atas kita. Di atas genteng ini angin berhembus, perlahan-lahan.
Mengantarkan dingin yang sekuat tenaga, coba kuacuhkan. Aku berkonsentrasi
kepada Far yang pandangannya masih terus menerawang jauh, lebih jauh dari
bintang-bintang yang telah ditemukan oleh teleskop-teleskop canggih dewasa ini.
“Padahal aku masih belum yakin,
seperti ada gumpalan hitam di hati ini yang mesti dikeluarkan.”
Dalam pikirku sendiri, aku malah tak
mempermasalahkan ini sama sekali. Otakku hanya bingung antara apa yang harus
aku katakan, dengan bayangan-bayangan apa yang terjadi nanti.
“Kuharap selain janji, kau telah
menancapkan pemahaman kepadanya, Far.”
“Tentu saja, tapi itulah yang
membuatku ragu, Lif. Meski telah kujelaskan berulang-ulang, Ia tetap menangis
saat perpustakaan kota harus tutup. Aku tahu Ia menangis, meski Ia mencoba
terus tersenyum di setiap kalimatnya”
Far menatap serius ke arahku. Untuk
sejenak, aku menangkap setetes keraguan itu. Bagaimana sebuah tingkatan
persahabatan telah membuat kita terus terbuka lebar, dan berbagi beban. Maka
sudah menjadi biasa, ketika aku benar-benar mengerti masalahnya memang serius,
karena yang ia khawatirkan bukanlah dirinya, melainkan Kankila.
“Bukankah kau telah berjanji Far,
tidak membuatnya menangis?”
“Aku tahu, tapi semua itu di luar
perkiraanku. Sepertinya selalu ada yang salah dengan penjelasan-penjelasanku.”
Far kembali menatap jauh, seakan-akan ada jawaban di ujung langit sana. Ketika
malam semakin larut, aku hanya menghembuskan nafas lenguh ke telapak tanganku,
sambil terus mencoba menghangatkan badan. Akhirnya, Far kembali mengambil
gitar, dan memetik kunci-kunci kepasrahan. Dan aku, dipenuhi tanda tanya.
Hari-hari terakhir memang menjadi
hal yang penting, hal yang istimewa untuk terus membuat janji. Entah akan
kembali, atau melupakan. Yang kebanyakan janji bisu adalah melupakan secara tak
sengaja. Yang akhirnya memunafikkan janji formalitas, berteman selamanya.
Kami telah memakai Jas tuksedo, lengkap dengan jas dan dasi. Udara segar pagi
hari kembali kurasakan, sambil ditemani deru motor yang terus melaju menuju
sekolah.
Gerbang depan sudah sangat ramai,
penjaga gerbang yang biasa galak dengan anak-anak terlambat sekarang berubah
seratus delapan puluh derajat menjadi pemurah senyum, tentu karena banyak wali
murid yang datang. Meski senyumnya tak akan pernah cocok dengan brengos
dan jenggot liarnya. Aku memarkir motorku di tempat biasa, mendorong-dorong Far
melewati kerumunan anak-anak IPS. Mereka tak akan pernah terlambat di acara
ini, meski saat sekolah, merekalah jagoan kesiangan.
“Bagaimana hatimu, Far” Aku menyikut
Far, ketika kita berada tepat di depan pintu aula besar sekolah.
“Waktu yang tepat tuk berpisah, Lif”
“That’s The spirit”
Maka dengan langkah tegap, tangguh,
kami langsung masuk, menaiki tangga ke panggung. Far menggapai gitar yang telah
disiapkan, aku berdiri dengan microphone tepat di depanku. Menatap ke seluruh
penonton, dan mulai menyanyikan lagu-lagu perpisahan.
Seperti sambutan-sambutan
membosankan lainnya, yang akan selalu ada di tiap-tiap acara. Semua memang
berjalan cepat, namun jam dinding sudah menunjukkan jam istirahat, hidangan-hidangan
dikeluarkan. Meja-meja prasmanan tersusun rapi menjadi dua blok. Blok kanan
untuk perempuan, dan blok kiri untuk laki-laki. Dan dengan cepat, ruangan
dipenuhi oleh pertempuran sendok, garpu dan piring.
“Kau sudah melihatnya hari ini?” Aku
bertanya pelan ke arah Far. Sembari mengelap mulutku dengan tisu.
“Belum, kau kan ada di sampingku
dari tadi.”
“Yah, kau tahu kan. Hanya matamu
yang bisa memandang fokus lebih dari 250 meter”
“Ngaco Kau Lif” dan kami pun
tertawa.
Tapi aku tak bisa berbohong, dan
mungkin aku melihat sedikit kebohongan di raut wajah Faris. Aku tahu aku
melihatnya di pojok sana, entah Far melihatnya juga atau tidak, tapi mungkin
ini waktuku untuk pergi. Jadi aku memutuskan untuk pergi ke ruang kelas, dan
menyatu dengan atmosfer keributannya.
***
“Kuharap
aku tak mengganggumu, Far”
“Aku tak
akan pernah bisa berbohong Kila, dan kau tahu itu. Bagaimana kabarmu hari ini?”
“Cukup
baik, aku baru saja menghabiskan satu mangkuk kecil sup krim. Kuharap itu dapat
membuatmu percaya bahwa aku memang benar-benar dalam keadaan baik.”
“Bagaimana aku bisa percaya, aku
sudah menjelaskan semuanya. Tapi engkau tetap menangis. Bagaimanalah itu?
Bagaimana jika kau benar-benar harus menjadi penyabar yang kedua?” Far terlihat
serius sepertinya ia langsung ingin melempar gumpalan itu. Tapi bagaimanalah
hati dan pikiran seorang wanita itu. Sukar dimengerti, Ka melihat Kankila pergi
menjauh. Sedetik setelah pandangan Far jatuh tepat di matanya.
Maka sampai sore ini, sampai akhir
acara yang seharusnya dipenuhi haru biru perpisahan. Far lebih menundukkan
pandangannya dari mereka-mereka yang ingin terus memanfaatkan saat-saat
terakhir ini sebaik mungkin. Saat aku juga mulai lelah melihatnya, aku
mengajaknya pulang.
Far tak berbicara, ia hanya
bersuara. Hanya mengangguk atau menggeleng, sesekali berkata “hm” atau sekedar
“ya”. Namun benar-benar tak menganggap suaraku. Kami sudah berada di atap
sekarang. Angin malam berhembus pelan sekali, bunyi suara jangkrik terdengar
dimana-mana . Bulan masih menyabit di angkasa, bintang tersebar. Engkau pernah
tahu bagaimana langit cerah di angkasa malam? Mungkin engkau kan menemukan
jawaban-jawaban disana.
Dan ia mulai menangis.
“Akan ada seorang yang kuat, dibalik
mereka yang menangis” Ku mencoba kembali memulai.
“Aku tak tahu akan menjadi serumit
ini, aku melanggar janjiku. Aku tahu dari nada bicaranya, aku tahu ia
menyembunyikannya. Tapi mengapa semuanya menjadi serumit ini?” Makin menunduk.
“Mungkin kau salah bertanya padaku,
aku memang tak pernah mengalami hal seperti ini. Tapi karena aku meyakini
sesuatu”
Aku berhenti sebentar, menghembuskan
nafas, kembali memandang langit luas. “Kau kira kenapa aku repot-repot menjadi mister
acuh? Aku hanya tak ingin menumbuhkan harapan-harapan. Karena kau tahu?
Seorang perempuan itu sangat sensitif. Bahkan disaat kita bercanda, tiba-tiba
mereka serius. Aku sendiripun bingung, Jika kau terlalu baik, mereka kira aku
memeberi harapan. Dan jika aku jahat, mereka menjauhiku. Tapi aku lebih memilih
mereka untuk menjauhiku, daripada timbul rasa yang tak akan bisa kutahan.
“Entah apa yang aku pikirkan
sekarang. Aku Han tak ingin menjadi mereka. Yang hari-harinya diakhiri dengan
tangis. Kau juga tahu, aku paling tidak tahta melihat seorang perempuan
menangis.”
Far berhenti, Ia diam. Aku tak tahu
apa kata-kataku terlalu membingungkan untuk dimengerti, atau memang ada sebuah
ide muncul di kepalanya. Saat aku
memperhatikan wajahnya, ternyata Ia tidur.
_Imperfect Harmonies
Tidak ada komentar:
Posting Komentar