(Judul, translate ke bahasa Arab)
Well, di
kehidupanku yang masih muda ini. Entah kenapa begitu banyak penyesalan yang
memang tak seharusnya terjadi. Seperti memang telah ditakdirkan untukku. Sakit,
walau hanya sedikit mengingatnya. Namun jika aku dipaksa untuk mengingat, maka
aku membuka memori saat aku tak mengenal siapa aku. Memang hanya satu dua kali,
namun perasaan ini, rasa bersalah ini rasanya terlalu besar. Mungkin memang
karena perasaan bukanlah sesuatu yang dapat ditentukan satuannya, dapat
ditentukan nilai riilnya. Hanya saja, terlalu sakit walau hanya untuk satu
tarikan nafas.
Aku menutup mataku, dan kembali membuka mata dalam
kesadaran tubuhku yang dulu. Entah apa yang kupikirkan waktu itu. Well, kuakui
aku tersenyum saat itu. Tanpa ada rasa khawatir satu dua beban. Hari raya, saat
itu. Bukankah seharusnya ada lembaran baru yang terbuka, suci, putih. Disaat
itulah aku mengenal senyumnya. Tak seperti yang lain, saat orang-orang biasa
memakai warna putih. Dan kau tahu rasanya bangga sekali waktu itu. Mengetuk
pintu rumahnya, setelah beberapa digit huruf mengkonfirmasi. “Ya, aku tunggu
dirumah”. Seperti baru tadi, seperti baru berapa detik tadi. Aku bergegas
meraih kunci motorku, menyalakan mesinnya, memasukkan gigi pertama, dan memutar
sang gasnya. Seperti baru beberapa detik lalu, saat aku menerobos angin
kencang, dengan motor itu, tanpa beban, bahkan rasanya ringan saja. Seperti
masih bisa aku mendengar ketukan pintu, derit engsel pintu terbuka, dan
senyumnya. Yaa Rabb.
Waktu adalah obat, bukan ramuan
pembuat lupa. Satu retakan saja, maka hancur satu bendungan. Menyembur deras
setiap tetesnya. Sejenak teringat, ketika memang Susi orang lain ternyata juga
mencemari pikiran-pikiran kita yang sudah lurus. Atau kita memang dibutakan
oleh kabut? Lagi-lagi, tanpa beban, mudah sekali tangan ini menyambut tangan
yang telah terulurkan. Senyum hangat, suhu tubuh, keringat dingin. Semuanya
meleleh. Jari-jari ini seperti masih bisa merasakan lembut telapak tangannya.
Orang tuanya sedang pergi, tradisi hari raya. Tinggallah kami berdua dalam
raungan. Saat tawa mengisi langit-langit raung tamu, meja kecil di tengah,
berserak cemilan, gelas-gelas sirup. Detik-detiknya, seperti tersimpan rapi,
entah di bagian otak yang mana. Namun dekat sekali, seperti diproyeksikan tepat
di lensa mata ini. Dan lagi, waktu berjalan bagai butir peluru merobek kulit,
menembus jantung. Disaat asumsi mereka menjadi saut, berteriak memenuhi kepala.
Pertemuan terakhir, kami duduk di
restoran favorit kami. Aku memesan menu yang sama dengannya, omelette dan jus
jeruk. Aku berusaha menyembunyikan fakta penting yang harus kusampaikan, juga
dia menyembunyikan satu hal yang sekarang menjadi kenyataan. Bibir kita memang mengukir senyum, namun tatapan
mata kami memperjelas semuanya. Setelah beberapa lama terdiam, piring dan gelas
telah kosong. Aku mengajaknya ke bagian bagian restoran yang ada di luar. Di
sebelah kami, perkebunan jagung yang daun-daunnya hampir menutupi cokelat tanah
di bawahnya. Aku menunggu, seperti mereka-mereka yang menunggu momen yang tepat
untuk kata-kata yang tepat. Menarik nafas pelan, aku mengatakan semuanya. Entah
baik buruk pertemanan ini, mereka juga sudah mengetahuinya. Dan menurut mereka,
apa yang kita lakukan mulai pertama kali kita bertemu, saat Nuuk rusak basah
terkena hujan, saat kau meminta maaf, saat akhirnya perasaan itu muncul.
Seharusnya tak ada kata kita, di luar kata benar atau salah, mereka tak setuju.
Angin sejuk bergerak melambai bersama daun-daun panjang, aku diam sejenak. Saat
akhirnya dia yang memecah hening, “Aku harus pergi” Bukan, bukan karena
ketidaknyamanan ini, Ayah dan Ibunya baru saja bercerai. Ia akan pindah bersama
Ayahnya. “Palembang” katanya, saat ketidakpastian akhirnya menjadi pasti. Aku akan
berpisah, dan entah sampai kapan.
Pertemuan, masalah, dan perpisahan. Ternyata
semua baru awal, baru saja menggores sedikit permukaannya. Pertemuan kedua,
pertemuan yang tak diinginkan. Mataku membesar, terperangah melihatnya. Sebuah
perubahan, jatuh bebas. Senyum itu memang masih seindah dulu, namun
kehidupannya. Yaa Rabb. Jika kehormatan wanita menempel erat dengan pakaian
syar’i nya. Maka runtuhlah bangunan kehormatan itu ketika tanggal satu dua
kain-kain panjang. Entah apa sebab dari semua ini, namun dunia telah
memakannya, mengoyak tanpa ampun. Satu-satunya alasanku menerima kehadiranmu
alah kehormatan yang kau punya. Kujunjung tinggi, jauh dari raihan tanganku.
Namun betapa sesak rongga hati, ketika kau sendiri yang menghancurkan
fondasinya, meruntuhkan seluruh bangunannya, meratakannya dengan tanah. Bahkan
lebih rendah dari sekedar tanah. Kecewa, marah, dan rasa bersalah menjadi satu.
Benci. Entah seberapa besarnya, namun satu yang kuyakini. Kebencianku bukan
untuk akibat yang telah terjadi, namun sebab yang menciptakannya. Aku
menyalahkan diriku sendiri. Maka kuat aku berlari, sebelum pertemuan
benar-benar disebut pertemuan. Menggenggam erat sebuah kebencian baru, yang
kutahu akan tetap tumbuh tiap harinya. Aku membenci diriku sendiri. Aku benci ketika
tertawa aku bersama teman-teman baruku, kau menangis disana – meski air mata
tak menetes, namun jeritan hati itu. Tak bisakah kau mendengarnya? Keras sekali
ia memekik, jauh merambat melalui media-media hati. Hatiku sakit, melihat
hatimu yang sakit. Dan yang lebih aku benci, aku menjauh. Dan berpikir bahwa
sebab dari semua ini adalah aku sendiri, membiarkan benci itu tumbuh subur dalam
diriku, dan menjauhkanmu darinya. Sejauh mungkin.
Namun apa daya tangan menepis luka,
apa daya kaki melangkah pergi, ketika surat telah tertulis. Jauh aku melangkah,
liar ku menebas. Aku kembali bertemu denganmu yang sakit, bertambah parah. Maka
timbul rasa iba, wahai yang kusebut cinta. Dalam bentuk apakah kau, saat mata
ini kembali melihat perih dalam senyumnya, merasakan tangis sakit hatinya.
Seperti memang tercipta untuk tanganku. Aku jelas tahu dia ada di sini, di kota
ini. Hanya saja, ragu jemari tangan ini mengetik pesan, kaki ini melangkah
lebih jauh, dan bibir ini menyapa. Ingin, aku bahkan tak bisa membayangkan
betapa ingin merangkulmu kembali. Menetralkan racun yang telah lama bersarang
di hati ini. Meski dalam lubuk hati ini, ragu juga masih betah merumah. Aku
ingin engkau juga berubah, sebagaimana aku sekarang–lebih baik dari aku yang
sekarang. Aku ingin melihat senyum, bukan hanya wajah, namun juga hati Aung
tersenyum ikhlas. Aku ingin kau menjadi obat bagi kebencian ini, menjadi cahaya
di gelapnya sudut-sudut hati. Aku ingin melihat keikhlasanmu yang dulu, belajar
bersama, tersenyum bercanda, berkirim pesan, mengucapkan selamat malam. Jauh di
luar baik dan buruk, benar atau salah. Aku ingin kembali mengenalmu, mengenal
engkau yang sekarang, dan mengenalmu di masa yang akan datang. Saat hatimu
telah kembali bersinar dalam syar’inya akidahmu, dalam syar’inya kehormatanmu, dalam
syar’inya akhlakmu. Dalam sebuah pelayaran menuju cinta yang sesungguhnya.
Mahabbah kepada-Nya.
_ImperfectHarmonies
Tidak ada komentar:
Posting Komentar