Kertas
terakhir sebelum benar-benar tertutup. Putih bersih, bisa kau bayangkan. Setitik tinta jatuh tepat di
permukaannya, membiarkan kapilaritas melakukan tugasnya. Menyebarkan semuanya,
membuatnya hitam, merefleksikan sebuah bayangan masa lalu. Bisa kau lihat.
Dimana tubuh ini meletakkan sasarannya. Mengayunkan pedang seenaknya. Muncul
sebuah layar hitam, membuka kembali sebuah memori yang tersimpan jauh di sudut
sistem memori otakku. Bergetar sedikit, lalu menghasilkan suara tak asing.
Sebuah pantulan suara, dan samar-samar isak tangis. Bisa kau dengarkan, suara tuts-tuts keyboard sibuk bergantian dan tiba-tiba diam. Bisu. Perlahan
menetes, saat ia sudah tak mampu lagi menahan tetesan tinta itu. menyeruak
liar, dan kembali menetes di ujung buku tebal itu. Kuhirup sedikit udara malam
itu, dan samar-samar tercium sebuah aroma tak asing. Kembali kucoba, semakin
dalam semakin tak asing. Aroma kekecewaan, dan teriakan-teriakan lain yang
menyeruak liar. Bisa kau rasakan getarannya, menyingsingkan mata sedikit, lalu
menutupnya perlahan. Saat tetesan tinta terakhir menyentuh permukaan. Sudah
kututup buku itu, dan kembali melihat covernya. Tertulis beberapa kata, semakin
samar. Semakin kucoba mengatur fokus mataku. Sekilas, aku bisa mengingatnya.
Ada namaku tertulis disana, kenapa? Apa yang terjadi? Aku mulai merasakan
tanganku, mencoba menggerakkannya. Sekuat tenaga, aku berteriak kencang sekali.
Tak seikitpun suara kudengar. Kecuali sebuah keributan diluar, samar-samar. Ada
yang menyebut namaku. Kututup mataku sbentar, dan belum berubah, bahkan mataku
sekarang tertutup sepenuhnya. Sebuah langkah kaki mendekat, aku merasakan
setetes keringat mengalir dari pelipisku. Kucoba menghirup udara untuk terakhir
kalinya. Putih, semua yang terlihat. Kulihat cover buku itu. Kosong. Kubuka
halaan pertama. Aku mulai terbiasa. Ada tinta disana, bukan hanya hitam, namun
biru, kuning, hijau, merah, ungu. Kuawali kembali. Dengan menuliskan namaku dan namamu. Yang samar-samar kembali
kuingat. Mataku terbuka, mereka tersenyum dan meneteslah air mata mereka. Aku
tak lagi bertanya, aku hanya tersenyum dengan badan masih terbaring. Masih
kulihat buku itu, setelah kulihat kembali, ada tetesan air mata diatasnya.
Kuperhatikan semua tinta yang tersedia. Samar-samar terdengar. “Mulailah
menulis, aku tak akan melarangmu lagi.” Kucoba menjawab, namun tiba-tiba
tertahan, mulutku terkatub, dan akupun menulis. “Aku tak bisa” Tetesan tinta
pertamaku, dan tangisanpun kembali meledak.
_Imperfect Harmonies