Kamis, 20 Februari 2014

21 Februari 2014 00:01



Kertas terakhir sebelum benar-benar tertutup. Putih bersih, bisa kau bayangkan. Setitik tinta jatuh tepat di permukaannya, membiarkan kapilaritas melakukan tugasnya. Menyebarkan semuanya, membuatnya hitam, merefleksikan sebuah bayangan masa lalu. Bisa kau lihat. Dimana tubuh ini meletakkan sasarannya. Mengayunkan pedang seenaknya. Muncul sebuah layar hitam, membuka kembali sebuah memori yang tersimpan jauh di sudut sistem memori otakku. Bergetar sedikit, lalu menghasilkan suara tak asing. Sebuah pantulan suara, dan samar-samar isak tangis. Bisa kau dengarkan, suara tuts-tuts keyboard sibuk bergantian dan tiba-tiba diam. Bisu. Perlahan menetes, saat ia sudah tak mampu lagi menahan tetesan tinta itu. menyeruak liar, dan kembali menetes di ujung buku tebal itu. Kuhirup sedikit udara malam itu, dan samar-samar tercium sebuah aroma tak asing. Kembali kucoba, semakin dalam semakin tak asing. Aroma kekecewaan, dan teriakan-teriakan lain yang menyeruak liar. Bisa kau rasakan getarannya, menyingsingkan mata sedikit, lalu menutupnya perlahan. Saat tetesan tinta terakhir menyentuh permukaan. Sudah kututup buku itu, dan kembali melihat covernya. Tertulis beberapa kata, semakin samar. Semakin kucoba mengatur fokus mataku. Sekilas, aku bisa mengingatnya. Ada namaku tertulis disana, kenapa? Apa yang terjadi? Aku mulai merasakan tanganku, mencoba menggerakkannya. Sekuat tenaga, aku berteriak kencang sekali. Tak seikitpun suara kudengar. Kecuali sebuah keributan diluar, samar-samar. Ada yang menyebut namaku. Kututup mataku sbentar, dan belum berubah, bahkan mataku sekarang tertutup sepenuhnya. Sebuah langkah kaki mendekat, aku merasakan setetes keringat mengalir dari pelipisku. Kucoba menghirup udara untuk terakhir kalinya. Putih, semua yang terlihat. Kulihat cover buku itu. Kosong. Kubuka halaan pertama. Aku mulai terbiasa. Ada tinta disana, bukan hanya hitam, namun biru, kuning, hijau, merah, ungu. Kuawali kembali. Dengan menuliskan  namaku dan namamu. Yang samar-samar kembali kuingat. Mataku terbuka, mereka tersenyum dan meneteslah air mata mereka. Aku tak lagi bertanya, aku hanya tersenyum dengan badan masih terbaring. Masih kulihat buku itu, setelah kulihat kembali, ada tetesan air mata diatasnya. Kuperhatikan semua tinta yang tersedia. Samar-samar terdengar. “Mulailah menulis, aku tak akan melarangmu lagi.” Kucoba menjawab, namun tiba-tiba tertahan, mulutku terkatub, dan akupun menulis. “Aku tak bisa” Tetesan tinta pertamaku, dan tangisanpun kembali meledak.

_Imperfect Harmonies

Tidak ada komentar:

Posting Komentar