Entah
kenapa mata ini terlihat begitu kosong,
dengan tatapan seorang pembunuh berdarah dingin. Apa yang bisa kau bayangkan.
Tak ada sedikitpun gurat kekecewaan, atau rasa bersalah dari mukanya. Apa yang
kau lihat, dari senyumnya yang tipis, benar-benar menipu sebuah penglihatan
ilmiah. Apa yang bisa kau rasakan dari hawa yang tiba-tiba dingin, dengan tetesan-tetesan
darah yang mengalir sampai ke bawah pijakanmu. Dunia ini adalah duniaku, dunia
penuh kebencian untuk semua yang bahkan tak pantas untuk dibenci. Inilah dunia
dimana kegelapan akan memelukku erat, dalam dingin yang selalu setia menemani.
Inilah sebuah dunia, dimana mata tak lagi membutuhkan cahaya untuk melihat, tak
butuh sebuah alasan kuat untuk kembali mengungkapkan sebuah misteri. Duniaku
sendiri, tanpa campur tangan orang lain. Kebencianlah yang membuat dunia ini.
Kebencianlah yang menghiasi setiap sudut dinding dengan warna penyiksaan, bunga
mawar merah semerah darah segar, dihiasi duri beraroma hidrogen sianida. Juga peluru-peluru kosong, bukti bisu pemisah
raga dengan nyawa. Mungkin lebih buruk dari itu, bekas-bekas darah yang masih
samar terlihat. Untuk setiap emosi yang harus diterima sang pemilik belati.
Semua ternoda masa lalu.
Aku menutup mataku dengan tangan kiri,
membuka sedikit sela-sela jari untuk kesempatanku mengawasi sekitar. Apa yang
kulihat, sekarang tak lagi fokus. Sebagian orang akan langsung berkonsultasi
dengan dokter, masuk ke beberapa optik, mengukur kadar minus atau plusnya.
Bukan pilihanku. Seiring kebutaan yang aku hadapi, aku semakin sering hidup
dalam gelap. Menyempatkan diri untuk berteman dengan mereka yang hidup dalam
gelap. Kau tau siapa mereka? Ya, mereka adala orang-orang kesepian yang
kebenciannya juga lahir dari peristiwa-peristiwa yang seharusnya tidak tejadi. Butuh
sebuah pemahaman psikologis. Dari senyumnya yang manis, namun sangat menyayat
hati. Aku pernah menyadari satu hal dari kehidupan ini. Jika kita mengurangi
sedikit bagian dari suatu hal, maka dengan otomatis, akan ada penambahan dari
satu hal lainnya. Sama seperti apa yang dirasa olehku dan teman-temanku ini.
Dari kurangnya tinta yang kami dapat untuk mengisi kisah hidup kita di dunia
ini. Otomatis, banyak kekosongan yang kami dapat, kekosongan di kanvas ini,
putih, bersih. Namun, ketika malam tiba, gelap mulai merayap masuk, mencoba
mengisi halaman-halaman kosong yang rapuh. Mereka butuh satu kata, cukup satu
kata untuk mengisi kekosongan itu. Apa susahnya satu kata? Mungkin hanya memuat
satu atau dua bit data? Apalah kemungkinan terburuk dari mencari sebuah kata
penutup? Akupun keluar ke dunia yang penuh cahaya ini, butuh beberapa menit
untukku menyesuaikan lagi perbesaran pupil mata ini. Selama itu, aku masih saja
menutup mata ini dengan tangan kiriku. Untuk satu kata itu, aku mengambil
seluruh resiko masuk dalam dunia itu. Duniamu.
Intinya, maaf sudah mengobrak-abrik
duniamu. Sudah kudapatkan satu kata itu, jadi. Terimakasih, dan selamat
tinggal.
_Imperfect Harmonies
Tidak ada komentar:
Posting Komentar