Selasa, 13 Mei 2014

Cerita Dari Dunia Gelap




Entah kenapa mata ini terlihat begitu kosong, dengan tatapan seorang pembunuh berdarah dingin. Apa yang bisa kau bayangkan. Tak ada sedikitpun gurat kekecewaan, atau rasa bersalah dari mukanya. Apa yang kau lihat, dari senyumnya yang tipis, benar-benar menipu sebuah penglihatan ilmiah. Apa yang bisa kau rasakan dari hawa yang tiba-tiba dingin, dengan tetesan-tetesan darah yang mengalir sampai ke bawah pijakanmu. Dunia ini adalah duniaku, dunia penuh kebencian untuk semua yang bahkan tak pantas untuk dibenci. Inilah dunia dimana kegelapan akan memelukku erat, dalam dingin yang selalu setia menemani. Inilah sebuah dunia, dimana mata tak lagi membutuhkan cahaya untuk melihat, tak butuh sebuah alasan kuat untuk kembali mengungkapkan sebuah misteri. Duniaku sendiri, tanpa campur tangan orang lain. Kebencianlah yang membuat dunia ini. Kebencianlah yang menghiasi setiap sudut dinding dengan warna penyiksaan, bunga mawar merah semerah darah segar, dihiasi duri beraroma hidrogen sianida. Juga peluru-peluru kosong, bukti bisu pemisah raga dengan nyawa. Mungkin lebih buruk dari itu, bekas-bekas darah yang masih samar terlihat. Untuk setiap emosi yang harus diterima sang pemilik belati. Semua ternoda masa lalu.
Aku menutup mataku dengan tangan kiri, membuka sedikit sela-sela jari untuk kesempatanku mengawasi sekitar. Apa yang kulihat, sekarang tak lagi fokus. Sebagian orang akan langsung berkonsultasi dengan dokter, masuk ke beberapa optik, mengukur kadar minus atau plusnya. Bukan pilihanku. Seiring kebutaan yang aku hadapi, aku semakin sering hidup dalam gelap. Menyempatkan diri untuk berteman dengan mereka yang hidup dalam gelap. Kau tau siapa mereka? Ya, mereka adala orang-orang kesepian yang kebenciannya juga lahir dari peristiwa-peristiwa yang seharusnya tidak tejadi. Butuh sebuah pemahaman psikologis. Dari senyumnya yang manis, namun sangat menyayat hati. Aku pernah menyadari satu hal dari kehidupan ini. Jika kita mengurangi sedikit bagian dari suatu hal, maka dengan otomatis, akan ada penambahan dari satu hal lainnya. Sama seperti apa yang dirasa olehku dan teman-temanku ini. Dari kurangnya tinta yang kami dapat untuk mengisi kisah hidup kita di dunia ini. Otomatis, banyak kekosongan yang kami dapat, kekosongan di kanvas ini, putih, bersih. Namun, ketika malam tiba, gelap mulai merayap masuk, mencoba mengisi halaman-halaman kosong yang rapuh. Mereka butuh satu kata, cukup satu kata untuk mengisi kekosongan itu. Apa susahnya satu kata? Mungkin hanya memuat satu atau dua bit data? Apalah kemungkinan terburuk dari mencari sebuah kata penutup? Akupun keluar ke dunia yang penuh cahaya ini, butuh beberapa menit untukku menyesuaikan lagi perbesaran pupil mata ini. Selama itu, aku masih saja menutup mata ini dengan tangan kiriku. Untuk satu kata itu, aku mengambil seluruh resiko masuk dalam dunia itu. Duniamu.
Intinya, maaf sudah mengobrak-abrik duniamu. Sudah kudapatkan satu kata itu, jadi. Terimakasih, dan selamat tinggal.

*Sedikit tambahan, mataku memang aneh beberapa hari ini, mungkin karena terlalu sering menatap layar laptop. Entah kenapa mata ini terus saja terasa lelah, dan waktu untuk membuatnya fokuspun bertambah, lebih lama. Tapi entah kenapa, waktu menghalangi mata ini dengan tangan kiri, dan melihat dari celah itu membuat mata ini semakin cepat fokus. Mungkin masuk ke teori yang kutuliskan tadi. Jika mengurangi satu hal akan menambah di satu hal lainnya. Menutup sebagian pengelihatanku menambah kecepatanku untuk tetap fokus melihat. Jadi, maafkan aku kalau saat bertemu denganmu, aku menutup mata ini dengan tangan kiriku.

_Imperfect  Harmonies

Tidak ada komentar:

Posting Komentar