Minggu, 08 Juni 2014

Dua Kali, Lagi.



                “Kukira semua sudah berakhir, Kankila?” langsung, aku akan langsung ke poin utama. Matahari sudah tak lagi tertarik dengan permasalahanku. Semuanya harus berkahir hari ini.
                “Bukankah semua sudah jelas? Kau sudah membaca buku itu bukan?” Aku maju beberapa langkah, menjauh beberapa langkah didepannya. Aku tak akan membalikkan punggungku, semuanya sudah berakhir.
“Kenapa kau diam?” Aku tak tahan lagi, ini bukan aku yang biasanya, ini orang lain. Dan kau, kau juga bukan dirimu yang biasanya.
                Matahari akhirnya hilang, meninggalkan bayang-bayang gedung pencakar di seluruh kota, sunyi. Untuk sebuah kota wisata, kota ini memang sangat sepi―selain karena hari ini memang hari raya nyepi, namun turis-turis yang biasa berlalu lalang―yang tak peduli waktu―juga tak terlihat.  Pantaslah disebut hari raya nyepi, karena seluruh kegiatan kota―bahkan pulau, ditutup. Bandara, restoran, kafetaria, hotel. Entahlah bagaimana nasib orang sakit, jika rumah sakit juga tutup, tapi hati mana yang tega melihat orang merintih. Sayangnya tak ada yang bisa melihat sakit yang diderita hati, sekencang apapun jeritannya, tak ada yang mendengar.
                “K-kau...” Kata-katanya terpotong, dua detik, tiga detik, lima detik, sembilan detik, tujuh belas detik, kata-kata itu tak akan pernah keluar.
                “Bukankah semua sudah jelas? Apalagi yang kau inginkan?”
                “A-aku...” Detik-detik itu kembali, aku benci ini. Canggung, aku tak tahan lagi―sebenarnya. Aku mencoba terus melihat kedepan, menahan raga untuk segera membalik badan. Aku tak akan bisa lagi melihatnya meneteskan air mata, walau hanya setetes, walau air mata itu hanya bersarang di pelupuk mata, menjadi kaca bening lembutnya hati yang sakit. Biarlah, terkahir kali aku menunggu, bahkan ketika aku memang sedang menunggu, saat senyumku sudah merekah, menghangatkan suasana, membuat cantik biji-biji pohon mahoni yang berputar mengarah angin. Memberikan harapan-harapan, menjadi bukti kesempatan, menjadi harapan kelanjutan indahnya pohon itu. Namun sebentar saja―cukup dua detik, saat aku membalikkan badan. Yang kulihat hanya ransel pink miliknya, sambil berjalan menjauh. Mengembangkan payung merah, dengan aksen kuning di ujung-ujung payung. Membawa harapan-harapan itu. Pergi menjauh. Semua sudah cukup menyenangkan.
                “Kau sudah membaca buku itu bukan?” Aku memastikan sekali lagi. “Seharusnya kau mengerti.” Aku tak mau menunggu, aku akan mendominasi percakapan ini. Semua harus berakhir sore ini. “Kau tak akan meminta penjelasan itu lagi, kan?” Berusaha menahan intonasi, menjaga air mata itu.
                Sunyi, sore tetap sunyi. Kankila membisu, sepertinya ia sedang berpikir. Tak terdengar suara sama sekali, dunia terlalu sepi. Aku tak menyukainya.
                “Kau...” Lagi-lagi terpotong, apa yang kau pikirkan Kila? Sebenarnya, apa yang kau inginkan? Semua sudah selesai, semua sudah kuungkapkan dalam buku itu. Semua harus selesai detik ini.
                “Aku tak tau, kata apa yang harus aku pakai”
                “Hah?” Dia bicara, sekarang dia benar-benar bicara.
                “Aku memang bukan seorang penulis hebat sepertimu, aku bukanlah seseorang yang terlahir dengan kehidupan sesempurna kehidupanmu, walau aku tau, orang tuamu meninggal tragis dalam kecelakaan, aku tau masa lalumu yang bermata dingin, tak pernah menyentuh seorangpun. Terus menerus membawa buku kecil, menulis, menulis. Aku bukan orang sepertimu, yang hidup tanpa memiliki kekhawatiran untuk tetap hidup. Bertahan!”
                Aku menelan ludah, mencoba untuk tetap terkendali. Kankila juga terdengar ternang, tak ada getaran dalam intonasi suaranya. “Aku tau, kau pernah membunuh seseorang, walau membunuh bukan dalam pengartian secara harfiah. Aku tau, aku sudah membaca buku itu, Alif!”
                Dia menyebut namaku? Aku hapmpir saja menoleh, suaranya mulai bergetar. “Tapi, tapi...” Sekarang, ia benar-benar menangis. Tuhan, kena kutuk apa hambamu ini. Kembali menyaksikan tangisannya. Satu detik, ternyata hanya satu detik. Semua berubah. Satu detik, entah bagaimana otak ini bekerja. Aku bersiap membalikkan badan. Satu detik. Ransel pink itu tepat menghadap wajahku, lagi. Bedanya, hanya payung merah itu, yang tergeletak asal dalam kamarku. Barang yang tak pernah bisa aku kembalikan. Satu detik, dua detik, tiga detik. Smartphone-ku bergetar di saku jaketku. 0317? Empat digit terakhir, nomor itu. Aku menelan ludah, melempar jauh smartphone itu. Mengeluarkan notebook lengkap dengan pensil mekanik. 22 Maret 2018, aku tak akan pernah punya kesempatan.
               
...

_Imperfect Harmonies

Tidak ada komentar:

Posting Komentar