...
Kembali, aku
dihadapkan pada suatu hal. Mereka memakasaku untuk memuntahkan semuanya,
menulis apa adanya. Keadaan-keadaan yang seharusnya tak pernah kurencanakan,
pertanyaan-pertanyaan itu, kata-kata itu, senyum itu. Bahkan senyum itu tak
pantas kudapatkan. Kereta melaju cepat, satu setengah jam lagi menuju surabaya.
Aku memang tak yakin, keraguanku berada di puncaknya. Tapi, semua harus terjadi, janji adalah janji.
Aku tak akan mundur, aku hanya punya satu hari.
Stasiun Gubeng lebih
ramai dari biasanya, H-3 lebaran membuat beberapa wajah yang tak kukenal
berlalu lalang, entah pendatang baru atau mereka yang telah lama bermigrasi ke
luar kota surabaya. Keluar dari stasiun, aku langsung cek booking
penyewaan mobil. Seharusnya mobil itu sudah menunggu di tempat parkir. Melihat
jam tangan, 14:35, terlambat lima menit. Atau aku yang tak memikirkan padatnya
keadaan. “Alif!” Sayup-sayup terdengar suara yang kukenal sebelumnya, semakin
mendekat, sedikit mendongak dan berjalan cepat. Seseorang telah menepuk
pundakku, aku keduluan.
“Hey, lihat apa
yang kudapatkan!” Sembari menyuguhkan sebuah kunci apartemenku.
“Kau tak
berubah, Faris, masih saja berlagak pencuri” Segera kurebut kunci itu, kami
berpelukan agak lama.
“Kau juga tak
berubah, Alif, tak pernah waspada.” Aku bertemu dengan Faris dua tahun silam di
kota hiu dan buaya ini, saat ia tak sengaja terlihat mengambil sebuah kunci
mobil seorang PNS―yang terlihat masih mengenakan pakaian dinas. Baru saja
keluar, tiga langkah dari mobil tersebut. Mudah sekali orang ini mempermainkan
tangannya yang cepat, tak butuh waktu lama, sekitar dua detik, kunci itu sudah
berpindah ke tangannya. Aku yang sedang sedikit santai dengan teh hangatku
langsung saja berdiri hendak menahan orang itu. Baru beberapa langkah dari
warung kecil itu, wajah si “pencuri” malah terlihat pucat hendak menangis. Mengenggam
erat kunci itu dan berbalik arah, mengejar si empunya kunci. Jarakku ada lima
belas langkah darinya, terlihat sekali dia takut, menepuk pundak bapak PNS itu,
memberikan kuncinya lalu kembali berbalik, berlari ke arahku. Bingung sekali
aku saat itu, namun satu yang dapat kupastikan, dia adalah orang baik dan ia
terpaksa. Namun apa boleh buat, teriakan hati nuraninya melumpuhkan semua
nafsu.
Satu langkah
lagi dariku, aku pura-pura bergeser sedikit. Menabrak tubuh kecilnya, dan pura
pura meminta maaf. Membantunya berdiri, disaat itulah aku dapat jelas sekali
melihat wajahnya yang teduh, bercampur ekspresi ketakutan. Masih muda, mungkin
seumuran denganku yang masih kuliah semester empat. Disaat itu juga ada sesuatu
yang agak mengganggu, perit kecilnya berbunyi. Aku ak bisa menahan tawa, lalu
dengan senyum seramah mungkin, kuajak dia sarapan sambil mengobrol. Dari
percakapan singkat kami, ada beberapa hal yang dapat kupastikan, yang pertama,
dia lapar―lapar sekali. Dua porsi kupat tahu dihabiskannya, yang kedua ia
sedang tertekan drop out dari kuliahnya, yang ternyata hampir sama
denganku, semester empat. Sudah tiga semester tunggakannya, dan yang ketiga.
Aku tak bisa membuatnya bicara ketika topik pembicaraan mengacu pada orang
tuanya. Hampr saja ia tersedak saat aku bertanya tentang itu. Mulai saat itulah
aku akrab dengannya, meminta kakakku membantu pembayaran kuliahnya dan beberapa
kebutuhan hidupnya. Kami berhasil akrab, walau ternyata ia punya kelebihan
aneh. Mencuri apapun walau tanpa tangan kosong.
Kami sudah berada
di parkiran mobil sekarang, Faris menunjukkan sebuah mobil fortuner hitam.
Seperti yang kupesan sebelumnya.
“Tenang saja Al,
mobil ini punya kenalanku yang kebetulan punya jasa penyewaan mobil. Harganya
tak akan mengecewakanmu.” Sambil memberikan kunci mobil tersebut.
“Sekarang kau
mau kemana, Far?” Setelah masuk ke mobil, sebelum melanjutkan rencanaku Di
Surabaya ini. “Aku akan langsung ke kampus, aku lupa mengurus warnetku.”
Wajahnya masih saja terlihat teduh, menyenangkan.
Aku tersenyum. “Aku
tarik kata-kataku tadi, kau sudah berubah Far, semoga bisnis kecilmu lancar.”
“Hey, itu bukan
bisnis kecil,” Raut mukanya sedikit sebal, “Penghasilannya sudah bisa membuatku
menikah! Hehehe.” Lalu tersenyum.“Hah, kau masih memikirkan itu Far? Sayang
masa muda Far, kebebasanmu dipertaruhkan saat itu. Hehehe?” Sedikit membela,
juga tersenyum. “Minimal Al, aku tak bisa sepertimu yang selalu sendiri.”
Tertawa bersama, lalu berjabat tangan, “Jemput aku besok di kampusku, waktumu
sampai besok sore Al.”
“Oke!” Jawabku
singkat, aku langsung bergegas keluar stasiun. Memacah jalanan, memenuhi sebuah
janji.
...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar