Selasa, 24 Juni 2014

Faris



...
Kembali, aku dihadapkan pada suatu hal. Mereka memakasaku untuk memuntahkan semuanya, menulis apa adanya. Keadaan-keadaan yang seharusnya tak pernah kurencanakan, pertanyaan-pertanyaan itu, kata-kata itu, senyum itu. Bahkan senyum itu tak pantas kudapatkan. Kereta melaju cepat, satu setengah jam lagi menuju surabaya. Aku memang tak yakin, keraguanku berada di puncaknya. Tapi, semua harus terjadi, janji adalah janji. Aku tak akan mundur, aku hanya punya satu hari.
Stasiun Gubeng lebih ramai dari biasanya, H-3 lebaran membuat beberapa wajah yang tak kukenal berlalu lalang, entah pendatang baru atau mereka yang telah lama bermigrasi ke luar kota surabaya. Keluar dari stasiun, aku langsung cek booking penyewaan mobil. Seharusnya mobil itu sudah menunggu di tempat parkir. Melihat jam tangan, 14:35, terlambat lima menit. Atau aku yang tak memikirkan padatnya keadaan. “Alif!” Sayup-sayup terdengar suara yang kukenal sebelumnya, semakin mendekat, sedikit mendongak dan berjalan cepat. Seseorang telah menepuk pundakku, aku keduluan.
“Hey, lihat apa yang kudapatkan!” Sembari menyuguhkan sebuah kunci apartemenku.
“Kau tak berubah, Faris, masih saja berlagak pencuri” Segera kurebut kunci itu, kami berpelukan agak lama.
“Kau juga tak berubah, Alif, tak pernah waspada.” Aku bertemu dengan Faris dua tahun silam di kota hiu dan buaya ini, saat ia tak sengaja terlihat mengambil sebuah kunci mobil seorang PNS―yang terlihat masih mengenakan pakaian dinas. Baru saja keluar, tiga langkah dari mobil tersebut. Mudah sekali orang ini mempermainkan tangannya yang cepat, tak butuh waktu lama, sekitar dua detik, kunci itu sudah berpindah ke tangannya. Aku yang sedang sedikit santai dengan teh hangatku langsung saja berdiri hendak menahan orang itu. Baru beberapa langkah dari warung kecil itu, wajah si “pencuri” malah terlihat pucat hendak menangis. Mengenggam erat kunci itu dan berbalik arah, mengejar si empunya kunci. Jarakku ada lima belas langkah darinya, terlihat sekali dia takut, menepuk pundak bapak PNS itu, memberikan kuncinya lalu kembali berbalik, berlari ke arahku. Bingung sekali aku saat itu, namun satu yang dapat kupastikan, dia adalah orang baik dan ia terpaksa. Namun apa boleh buat, teriakan hati nuraninya melumpuhkan semua nafsu.
Satu langkah lagi dariku, aku pura-pura bergeser sedikit. Menabrak tubuh kecilnya, dan pura pura meminta maaf. Membantunya berdiri, disaat itulah aku dapat jelas sekali melihat wajahnya yang teduh, bercampur ekspresi ketakutan. Masih muda, mungkin seumuran denganku yang masih kuliah semester empat. Disaat itu juga ada sesuatu yang agak mengganggu, perit kecilnya berbunyi. Aku ak bisa menahan tawa, lalu dengan senyum seramah mungkin, kuajak dia sarapan sambil mengobrol. Dari percakapan singkat kami, ada beberapa hal yang dapat kupastikan, yang pertama, dia lapar―lapar sekali. Dua porsi kupat tahu dihabiskannya, yang kedua ia sedang tertekan drop out dari kuliahnya, yang ternyata hampir sama denganku, semester empat. Sudah tiga semester tunggakannya, dan yang ketiga. Aku tak bisa membuatnya bicara ketika topik pembicaraan mengacu pada orang tuanya. Hampr saja ia tersedak saat aku bertanya tentang itu. Mulai saat itulah aku akrab dengannya, meminta kakakku membantu pembayaran kuliahnya dan beberapa kebutuhan hidupnya. Kami berhasil akrab, walau ternyata ia punya kelebihan aneh. Mencuri apapun walau tanpa tangan kosong.
Kami sudah berada di parkiran mobil sekarang, Faris menunjukkan sebuah mobil fortuner hitam. Seperti yang kupesan sebelumnya.
“Tenang saja Al, mobil ini punya kenalanku yang kebetulan punya jasa penyewaan mobil. Harganya tak akan mengecewakanmu.” Sambil memberikan kunci mobil tersebut.
“Sekarang kau mau kemana, Far?” Setelah masuk ke mobil, sebelum melanjutkan rencanaku Di Surabaya ini. “Aku akan langsung ke kampus, aku lupa mengurus warnetku.” Wajahnya masih saja terlihat teduh, menyenangkan.
Aku tersenyum. “Aku tarik kata-kataku tadi, kau sudah berubah Far, semoga bisnis kecilmu lancar.”
“Hey, itu bukan bisnis kecil,” Raut mukanya sedikit sebal, “Penghasilannya sudah bisa membuatku menikah! Hehehe.” Lalu tersenyum.“Hah, kau masih memikirkan itu Far? Sayang masa muda Far, kebebasanmu dipertaruhkan saat itu. Hehehe?” Sedikit membela, juga tersenyum. “Minimal Al, aku tak bisa sepertimu yang selalu sendiri.” Tertawa bersama, lalu berjabat tangan, “Jemput aku besok di kampusku, waktumu sampai besok sore Al.”
“Oke!” Jawabku singkat, aku langsung bergegas keluar stasiun. Memacah jalanan, memenuhi sebuah janji.
...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar