Di sudut-sudut sebuah kota, terbiasalah dengan suara pukulan-pukulan
palu, desingan bor, Mesin-mesin kontraktor besar. Gelegar bom menjatuhkan dinding-dinding gedung tua, menghancurkan
gedung-gedung tinggi, dan membangunnya kembali. Aku adalah sampah bagi mereka,
entah sebgain atau seluruhnya. Kami adalah korban, janji pertama yang
dibubuhkan dalam undang-undang dasar, sudah terlalu jauh untuk ditepati. Aku
juga punya sebutan lain, steel―Si Baja. Walau terkadang berubah menjadi still
(tenang), atau steal (mencuri) hanya karena aksen. Setiap hariku dipenuhi tatapan mata-mata
itu, pikiran mereka jelas tertulis di raut wajah mereka. Takut, jijik, benci,
setiap tatapan itu mempunyai artinya. Namun, sebutanku itu bukan tanpa alasan,
aku tak pernah sekalipun mengeluarkan emosi, wajahku biasa pandanganku datar,
untuk apa? Tak akan ada yang mengerti, tak akan ada yang peduli. Hidupku
berjalan terus dalam bayangan, dalam gelap-gelap malam. Saat mereka sendirian,
jadilah mereka makanan malam kami.
Malam itu dingin, seperti biasa, aku
keluar dari lorong gelap itu menuju ke tengah kota. Kota, dengan seribu
kegiatan di setiap sudut jalanan, lorong, penuh aura negatif. Mengencangkan
jaket hoodie ku, menutup wajah dari cahaya lampu jalanan. Sesuai
kesepakatan, daerah ini adalah milikku malam ini. Tak ada yang mengganggu,
kecuali mereka yang bertopeng keadilan, bengis mencari kami. Memang bukanlah
masalah besar, kebanyakan mereka hanyalah manusia gemuk yang kerjanya hanya
makan dan duduk di belakang kemudi mobil. Seperti taksi, hanya saja menggunakan
seragam, topi, dan lencana. Di titik utama, di lorong gelap itu, sebuah tangga
menjulang tinggi. Cukup untuk mengantarkanku ke titik tertinggi, cukup untuk
memantau daerah ini. Mengamati pergerakan para lencana emas.
Aku turun, sesaat setelah melihat
seseorang masuk ke salah satu ATM, jaraknya mungkin hanya satu blok dari sini.
Dan memastikan para lencana emas masih tertidur dalam mobil-mobil mereka. Lorong-lorong
ini adalah rumahku, segelap apapun, mudah sekali menmbus satu jalan untuk ke
jalan lainnya. Aku kembali merapatkan jaket hoodie ku, memastikan
wajahku tak tersentuh cahaya sedikitpun. Lima menit, gadis itu keluar. Yah,
ternyata hanya seorang gadis, kemungkinan akan sangat mudah seperti mengambil
permen dari seorang bayi. Kuikuti terus sambi tetap menjaga jarak,
memprediksikan kemana arahnya, mengingat-ingat tempat yang paing tepat untuk
melancarkan penyerangan. Sesuai prediksi, dia berbelok ke utara, menuju ke
stasuin kereta, orang asing, bukan dari sekitar sini. Aku masuk ke dalam lorong
lagi, memotong pergerakan. Aku ingat, sebelum belokan terkahir menuju stasiun,
ada lorong dengan lampu yang menyala dan mati setiap satu menit. Perhitunganku
tak akan salah. Menunggu dibalik bayangan, malam ini memang benar-benar sepi,
semua kedaan ini hanya akan menguntungkanku saja. Saat terdengar
langkah-langkah itu, satu langkah melewati
lorong. Dengan cepat, membelakangi gadis itu, menutup mulutnya dan
menarik paksa ke dalam lorong. Tepat sekali perhitunganku, baru saja masuk ke
dalam lorong dan lampu kembali mati, aku punya waktu satu menit. Segera
kuhantam tubuhnya ke tembok, menahan tubuhnya dengan tangan kiriku sambil terus
menutup mulutnya, menarik pisau lipat dari sabuk dan menodong tepat di
lehernya, siap menebas. Nafasnya mulai tersengal.
“Kau
tau keadaanmu sangat tidak menguntungkan, cepat saja, berikan semua uangmu dan
aku berjanji, semuanya akan berlangsung cepat.”
Diam, entah kenapa nafasnya berangsur
normal, “Cepat!” Kataku sedikit membentak, menekankan sedikit pisauku. Tak
ingin membuang waktu, segera saja kubanting tubuhnya, menarik tas pinggangnya
mengobrak-abrik seluruh isi tasnya. Aku memang sudah bersiap lari, resiko
melepaskan mulut korbanmu adalah fatal. Satu teriakan, akan memangil siapapun
yang ada. Walau ternyata sedikit aneh, dia sama sekali tak bersuara, aku memang
tak terlalu peduli, aku hanya terus mengawasi sekitar. Setelah memeriksa
dompetnya, kulempar tas itu asal. Tanpa kata, aku keluar dari lorong itu. Baru
dua langkah, sebuah tangan menyentuh tanganku, menahan langkah kakiku. Waktuku
tinggal beberapa detik, sebelum lampu kembali menyala. Namun cengkramannya
semakin erat.
“Jeff?”
Samar, suara itu. Namaku asliku? Kenapa dia bisa tau? Pertamakali sejak
saat-saat itu, aku membiarkan perasaan masuk mengendalikan tubuhku. “Jeff,
kaukah itu?” Suaranya bergetar, termabat, lampu menyala, menusuk mata melihat
wajahnya. “R-Rafa” Aku berusaha menahan, setengah tak percaya. Aku mundur, jelas
akhirnya. Tak kuasa menggerakkan tubuhku, aku diam terpaku. Tangannya menyentuh
hoodie di kepalaku, menurunkannya, menguak setiap inci wajahku.
“Jeff, ini benar
kau! Aku tak percaya, kemana kau selama ini?” Aku diam, masih tak percaya,
menelan ludah.
“Jeff, jawab
aku! Taukah kau betapa sulitnya mencarimu!” Keadaan berbalik 180 derajat, aku
tak bisa menguasai tubuhku.
“Jeff! Tak
ingatkah kau dengan adikmu! Saudara kembarmu! Kapan terkahir kali kau pergi ke
tempat peristirahatannya?”
“Jeff! Jawab
aku!” Air matanya mulai menetes.
“Rafa?” satu
kata keluar dari mulutku, kali ini terdengar sedikit lebih jelas.
Sirine polisi terdengar mendekat, aku
sadar dan berlari menjauh, tak sempat berkata. Tak kupedulikan lagi gadis itu,
yang terus saja berteriak memanggil. Rasa bersalah mengikutiku.
Aku berlari dua blok secepat yang kubisa,
terus berlari menuju gedung-gedung tua itu. Tak akan ada shift malam, hari ini
minggu. Aku masuk menerobos pagar seng di sekitar building site, menaiki
tangga-tangga kecil, masuk ke ruangan itu, satu-satunya ruangan yang masih
berpintu. Tak dapat menahan, aku meninju-tinju dinding, gelisah rasanya.
Menjambak rambut sendiri, menelan ludah, menarik nafas panjang-panjang. Melihat
ke langit-langit ruangan. Aku ingin semuanya berakhir, ini hanya satu kesalahan
kecil, ini hanya sebuah miskalkulasi min, aku tak mempelajari korbanku di
detik-detik terkahir. Kesalahan terkhir, tak akan kuulangi lagi.
Aku duduk memojok, memeluk kaki, mencoba
menghapus kembali bayang-bayang masa lalu, saat kami menangis bersama, saat
pemboman Di Gaza. Aku dan Gaza, kehilangan orangtua kami, pun Rafa. Bahkan ia
kehilangan kakak perempuannya. Saat itu, umur kami sekitar tujuh tahun,
beruntung kami sempat dievakuasi oleh orang-orang yang masih peduli manusia.
Menjalani hidup di jalanan, sampai akhirnya diadopsi oleh seorang jurnalis Di
Inggris. Hidup dan bertahan disana, sampai suatu ketika, si jurnalis tak penah
kembali pulang dari Tanah Palestina, kesedihan kami yang kedua. Dan saat
Gaza―saudara kembarku meninggal karena sakit, kepedihan kami mencapai
puncaknya. Kami kembali berkelana di jalanan. Dan ah! Aku tak ingin
mengingatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar