Senin, 23 Maret 2015

Suatu Hari




Seorang sahabat berkata kepadaku, “Lif, aku telah membuat janji itu.”
***
            Malam ini indah, bulan sabit berada tepat di atas kita. Di atas genteng ini angin berhembus, perlahan-lahan. Mengantarkan dingin yang sekuat tenaga, coba kuacuhkan. Aku berkonsentrasi kepada Far yang pandangannya masih terus menerawang jauh, lebih jauh dari bintang-bintang yang telah ditemukan oleh teleskop-teleskop canggih dewasa ini.
            “Padahal aku masih belum yakin, seperti ada gumpalan hitam di hati ini yang mesti dikeluarkan.”
            Dalam pikirku sendiri, aku malah tak mempermasalahkan ini sama sekali. Otakku hanya bingung antara apa yang harus aku katakan, dengan bayangan-bayangan apa yang terjadi nanti.
            “Kuharap selain janji, kau telah menancapkan pemahaman kepadanya, Far.”
            “Tentu saja, tapi itulah yang membuatku ragu, Lif. Meski telah kujelaskan berulang-ulang, Ia tetap menangis saat perpustakaan kota harus tutup. Aku tahu Ia menangis, meski Ia mencoba terus tersenyum di setiap kalimatnya”
            Far menatap serius ke arahku. Untuk sejenak, aku menangkap setetes keraguan itu. Bagaimana sebuah tingkatan persahabatan telah membuat kita terus terbuka lebar, dan berbagi beban. Maka sudah menjadi biasa, ketika aku benar-benar mengerti masalahnya memang serius, karena yang ia khawatirkan bukanlah dirinya, melainkan Kankila.
            “Bukankah kau telah berjanji Far, tidak membuatnya menangis?”
            “Aku tahu, tapi semua itu di luar perkiraanku. Sepertinya selalu ada yang salah dengan penjelasan-penjelasanku.” Far kembali menatap jauh, seakan-akan ada jawaban di ujung langit sana. Ketika malam semakin larut, aku hanya menghembuskan nafas lenguh ke telapak tanganku, sambil terus mencoba menghangatkan badan. Akhirnya, Far kembali mengambil gitar, dan memetik kunci-kunci kepasrahan. Dan aku, dipenuhi tanda tanya.
***

Sabtu, 27 Desember 2014

Cahayaku



(Judul, translate ke bahasa Arab)

Well, di kehidupanku yang masih muda ini. Entah kenapa begitu banyak penyesalan yang memang tak seharusnya terjadi. Seperti memang telah ditakdirkan untukku. Sakit, walau hanya sedikit mengingatnya. Namun jika aku dipaksa untuk mengingat, maka aku membuka memori saat aku tak mengenal siapa aku. Memang hanya satu dua kali, namun perasaan ini, rasa bersalah ini rasanya terlalu besar. Mungkin memang karena perasaan bukanlah sesuatu yang dapat ditentukan satuannya, dapat ditentukan nilai riilnya. Hanya saja, terlalu sakit walau hanya untuk satu tarikan nafas.
Aku menutup mataku, dan kembali membuka mata dalam kesadaran tubuhku yang dulu. Entah apa yang kupikirkan waktu itu. Well, kuakui aku tersenyum saat itu. Tanpa ada rasa khawatir satu dua beban. Hari raya, saat itu. Bukankah seharusnya ada lembaran baru yang terbuka, suci, putih. Disaat itulah aku mengenal senyumnya. Tak seperti yang lain, saat orang-orang biasa memakai warna putih. Dan kau tahu rasanya bangga sekali waktu itu. Mengetuk pintu rumahnya, setelah beberapa digit huruf mengkonfirmasi. “Ya, aku tunggu dirumah”. Seperti baru tadi, seperti baru berapa detik tadi. Aku bergegas meraih kunci motorku, menyalakan mesinnya, memasukkan gigi pertama, dan memutar sang gasnya. Seperti baru beberapa detik lalu, saat aku menerobos angin kencang, dengan motor itu, tanpa beban, bahkan rasanya ringan saja. Seperti masih bisa aku mendengar ketukan pintu, derit engsel pintu terbuka, dan senyumnya. Yaa Rabb.
            Betapa siksa hati begitu dahsyat, saat setiap hurufnya diwakili oleh tiap kata tersebut.

Jumat, 19 Desember 2014

Far - Masa Depan



...
Sore memang indah, Jingga merah menyiram angkasa. Hujan sedang libur, biasanya sore setelah Ashar gerimis sudah mulai turun, namun hari ini cuaca cerah seharian. Saking cerahnya, cahaya itu masuk menembus kulit, menyusuri lorong-lorong hati. Sampai ke bagian paling gelap, membuatnya terang. Sebenarnya bukan tanpa alasan. Akan bagaimana rasa hati, kalau sebuah keinginan terpenuhi. Bagaimana sih rasa hati, kala rindu semi merekah. Teringat masa-masa indah, dahulu.
Bertemu seorang sahabat karib memang menyenangkan, membahas masa lalu, menyemangati keadaan hari ini, berdoa untuk masa depan. Waktu memanglah sempit, melesat bagai butir air yang terus jatuh hancur ditampar peluru yang melesat. Sebenarnya bukan masalah, apalagi yang telah lalu. Dia datang, sumringah sekali wajahnya, menyempal kesenangan di setiap sudut wajahnya. Kami berpelukan, mengikat lebih erat sebuah tali yang sudah rumit, meski selalu menjadi sederhana ketika pertemuan ini. Pertemuan ini bukanlah yang pertama kali, namun ada sebuah hal spesial dari hari ini yang membuatnya pantas memberikan kenangan-kenangan pertama.
                “Oh, kamu tidak sendiri Far?” Langsung saja.
                Pintu mobil terbuka, seseorang turun dengan anggun. Terlihat hijab-nya menutupi sampai ujung kakinya. Lima detik kemudian, Far sudah menggandeng istrinya. Bercadar hitam, dengan pandangan yang selalu menunduk―suci terjaga.
                “Silahkan masuk teman lama, anggap saja rumah sendiri. Maaf, memang kurang rapi. Kamu tahu sendirilah, kehidupan orang-orang yang sendiri”.
Entah perasaan apa ini, tapi jelas aku bahagia melihat teman lamaku ini ternyata sudah memiliki sebuah sumber kebahagiaan baru. Meski dalam lubuk hati ini, iri juga melihatnya. Aku yang lebih tua dua tahun dengannya malah sibuk―menyibukkan diri dengan pekerjaan, menenggelamkan diri, membutakan dari hiruk-pikuk sosial.
“Tidak usah repot-repot Mas.” Jawab Far ketika aku menawarinya membuat minuman. Hampir bersamaan, gerbang depan berderit terbuka. Ibu kontrakan rumahku melangkah mendekati pintu yang masih terbuka. Maka demi melihat Far yang sudah dewasa, bersama istri cantiknya, Ibu Yuyun langsung mengambil alih ruangan. Bagaimana tidak, demi melihat Far―mantan anak asuhnya dulu saat kami masih tinggal di atap yang sama. Maka dimulailah percakapan hangat tentang Far dan istrinya.

...

_ImperfectHarmonies