Seorang sahabat berkata kepadaku, “Lif, aku telah membuat
janji itu.”
***
Malam ini indah, bulan sabit berada
tepat di atas kita. Di atas genteng ini angin berhembus, perlahan-lahan.
Mengantarkan dingin yang sekuat tenaga, coba kuacuhkan. Aku berkonsentrasi
kepada Far yang pandangannya masih terus menerawang jauh, lebih jauh dari
bintang-bintang yang telah ditemukan oleh teleskop-teleskop canggih dewasa ini.
“Padahal aku masih belum yakin,
seperti ada gumpalan hitam di hati ini yang mesti dikeluarkan.”
Dalam pikirku sendiri, aku malah tak
mempermasalahkan ini sama sekali. Otakku hanya bingung antara apa yang harus
aku katakan, dengan bayangan-bayangan apa yang terjadi nanti.
“Kuharap selain janji, kau telah
menancapkan pemahaman kepadanya, Far.”
“Tentu saja, tapi itulah yang
membuatku ragu, Lif. Meski telah kujelaskan berulang-ulang, Ia tetap menangis
saat perpustakaan kota harus tutup. Aku tahu Ia menangis, meski Ia mencoba
terus tersenyum di setiap kalimatnya”
Far menatap serius ke arahku. Untuk
sejenak, aku menangkap setetes keraguan itu. Bagaimana sebuah tingkatan
persahabatan telah membuat kita terus terbuka lebar, dan berbagi beban. Maka
sudah menjadi biasa, ketika aku benar-benar mengerti masalahnya memang serius,
karena yang ia khawatirkan bukanlah dirinya, melainkan Kankila.
“Bukankah kau telah berjanji Far,
tidak membuatnya menangis?”
“Aku tahu, tapi semua itu di luar
perkiraanku. Sepertinya selalu ada yang salah dengan penjelasan-penjelasanku.”
Far kembali menatap jauh, seakan-akan ada jawaban di ujung langit sana. Ketika
malam semakin larut, aku hanya menghembuskan nafas lenguh ke telapak tanganku,
sambil terus mencoba menghangatkan badan. Akhirnya, Far kembali mengambil
gitar, dan memetik kunci-kunci kepasrahan. Dan aku, dipenuhi tanda tanya.
***